Seolah keduanya berpadu beriringan pada senja yang sebentar lagi tiba diujung maret sebuah bulan ketiga, hujan masih terus menyapa di perjalanan. Saat sepi menjadi teman langkah seolah tanpa pertolongan dari teman. Namun, setiba dalam derasnya hadir hujan, teringat pada sang pemilik semesta dan menengadah. Adakah hujan berteman dengan sepi ataukah hanya sebuah ketiadaan kesengajaan sehingga keduanya hadir bersamaan, sungguh sebuah kenyataan yang menyayat hati, mengapa keduanya masih jua didalam pertemuan, seolah terjadi perpaduan dalam harmoni perihal hujan dan kesepian, mengapa seolah seperti dua sejoli.
Saat seseorang menatap angkasa dengan jingganya yang unik, seolah ingin memberi makna yang tertinggal di sisi hati, disebuah ingatan dikala siang yang sedang terik-teriknya, tentang elegi kisah bahagia yang telah pergi. Padahal yang ingin selalu kukenang namun nyatanya sedang pada titik tak senang, mungkinkah ini hanya terjadi di masa sekarang, mungkin akan segera berakhir dan tak lagi membayang.
Semua bahagia yang pernah menjadi nuansa dalam sebuah keluarga seolah menghilang dalam jentikan jemari, apakah ini semata efek pandemic, ataukah sesungguhnya hanya sebuah elegi bahagia yang telah tiada. Dimalam yang diisi dengan nuansa kesunyian, ingin rasanya aku memelukmu dengan berjuta rasa rindu, aku dekap detak jantungm yang beradu, menatap matamu yang syahdu adalah kesukaanku, pikirku sudah digilakan dengan kasih sayang yang di campur mentega di bibimu membilas senja bersamamu, ditimang getar yang diam-diam menjelma tanpa ampun, kenapa hadirmu yang sekejap meninggalkan jejak rindu yang memikat, kamu sangat populer dikepalaku. Bahkan saat aku tidur kepalaku tetap disibukkan olehmu. Karena kamu selalu singgah di mimpiku.
Mungkin cahaya tak penah berkata untuk padam meski bumi di bawah terang merasakannya, kini hanya teracuhkan, mungkin hanya paparan tanah yang terlihat lemah dan tengah mengadah ularan tangan, mengemis menatap langit tanpa bicara.
Syahrul hidayat