Pembaruan Hukum Islam di Era Kontemporer: Menjaga Kesucian Syariat, Merespons Tantangan Zaman
Hukum Islam atau fiqh merupakan hasil dari proses panjang ijtihad para ulama dalam memahami dan menerjemahkan nilai-nilai syariat yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam sejarahnya, fiqh tidak pernah benar-benar statis. Ia senantiasa berkembang mengikuti dinamika zaman. Namun di era modern ini, tantangan terhadap hukum Islam datang dalam bentuk yang lebih kompleks: globalisasi, sekularisasi, revolusi digital, kesetaraan gender, pluralitas hukum, dan berbagai perubahan sosial yang sangat cepat. Di tengah arus ini, muncul kebutuhan mendesak untuk melakukan pembaruan hukum Islam agar tetap relevan dan aplikatif dalam kehidupan umat Muslim modern.
Mengapa Pembaruan Diperlukan?
Pertama, realitas sosial umat Islam saat ini sangat berbeda dengan konteks masa lalu di mana fiqh klasik dikembangkan. Masalah-masalah kontemporer seperti keuangan digital, hukum medis (seperti transplantasi organ, euthanasia, dan bayi tabung), perubahan iklim, bahkan eksplorasi luar angkasa tidak pernah dibayangkan oleh ulama-ulama klasik. Jika hukum Islam ingin tetap menjadi panduan hidup yang praktis, maka ia harus bersedia berdialog dengan zaman.
Kedua, masyarakat Muslim saat ini hidup di dunia yang plural dan demokratis, di mana nilai-nilai seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan kebebasan individu sangat dijunjung tinggi. Banyak generasi muda Muslim yang mempertanyakan relevansi hukum Islam dalam menjawab persoalan ini. Tanpa pembaruan, hukum Islam bisa dianggap sebagai sistem yang usang, tidak adil, atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Prinsip-Prinsip Pembaruan
Pembaruan hukum Islam tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ia harus tetap berpijak pada kerangka metodologis yang kuat. Di antaranya:
1. Maqashid al-Shariah (tujuan-tujuan syariat): Prinsip ini menekankan bahwa tujuan hukum Islam adalah menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan berorientasi pada maqashid, hukum Islam dapat ditafsirkan secara fungsional dan kontekstual.
2. Ijtihad Kontemporer: Diperlukan ijtihad kolektif oleh ulama, cendekiawan Muslim, bahkan ahli dari berbagai bidang (hukum, teknologi, kedokteran, ekonomi) agar hukum yang dihasilkan tidak hanya sahih secara agama tetapi juga tepat secara teknis dan sosial.
3. Reinterpretasi Teks: Teks-teks agama harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks turunnya ayat (asbabun nuzul) dan perkembangan zaman, bukan secara literal semata.
4. Fiqh Minoritas (Fiqh al-Aqalliyat): Konsep ini menjadi penting di era global, di mana banyak Muslim hidup sebagai minoritas di negara non-Muslim. Maka hukum Islam pun perlu beradaptasi dengan konteks sosial dan hukum setempat, selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar syariat.