Selalu ada yang melekat pada seorang aktor, sesuatu yang membuatnya tidak bisa dipisahkan dari peran, bahkan ketika ia mencoba keluar. Bagi Vin Diesel, yang melekat itu bukan hanya suara serak atau kepala plontosnya. Bukan pula rangkaian film aksi yang tak habis-habis. Yang benar-benar melekat, yang seolah jadi kulit keduanya, hanyalah selembar baju ketek atau singlet.
Kau mungkin mengira itu hal sepele. Hanya sepotong kain tanpa lengan. Murah, mudah ditemui di toko-toko. Tapi di tubuh Diesel, singlet menjadi semacam lambang. Singlet tidak hanya pakaian, tapi menjadi sebuah pernyataan.
Sebelum semua ketenaran itu datang, sebelum ia dikenal sebagai Dom Toretto atau sebagai bintang yang mampu mengangkat waralaba film sendirian, ia hanyalah seorang bernama Mark Sinclair. Pemuda New York yang tumbuh di lingkungan keras, kerja malam-malam sebagai bouncer klub. Pintu masuk, musik menggelegar, orang mabuk yang berusaha menyerobot. Mark berdiri di sana, menjaga pintu. Tidak ada yang glamor. Tidak ada kamera. Hanya tubuhnya dan singlet yang melekat. Itu praktis, itu cukup. Kalau seseorang berbuat ulah, ia harus digiring keluar, kadang dengan paksa.
Diesel sendiri pernah mengakui, singlet itu berasal dari masa lalunya. Dari dunia bouncer. Ia tidak memilihnya untuk bergaya. Ia memilihnya untuk hidup. Dari situ, singlet bukan sekadar pakaian: ia sudah menjadi bagian dari caranya berdiri, caranya berjalan, caranya menghadapi orang.
Ketika ia akhirnya masuk ke dunia film, singlet ikut terbawa. Bukan dengan kesadaran penuh, tapi seperti kebiasaan lama yang enggan pergi. Kau bisa menghapus nama lahir, kau bisa mencukur kepala, kau bisa menambahkan rantai salib di leher. Tapi ada hal-hal yang terlalu dalam, terlalu melekat untuk ditinggalkan. Singlet adalah salah satunya.
Lalu datanglah The Fast and the Furious pada tahun 2001. Sebuah film yang mungkin tidak pernah diniatkan untuk menjadi saga panjang, tapi justru berakhir sebagai rangkaian mitologi modern (yang semakin ke sini semakin ngawur). Di film itu, Vin Diesel muncul sebagai Dominic Toretto. Mekanik jalanan. Kepala geng kecil. Lelaki dengan jargon 'keluarga'. Dan tentu saja, dengan singlet. Rasanya tidak mungkin membayangkan Dom dengan jas mahal atau kemeja sutra. Dom hidup di garasi, di jalanan, di meja makan dengan bir dingin. Pakaian yang pas bukanlah busana semacam itu. Pakaian yang pas adalah singlet yang penuh noda oli, yang lengket di bahu.
Sejak itu, singlet menjadi ikon. Setiap kali Vin muncul dengan singlet, penonton langsung tahu: itu Dom. Bahkan ketika ia bermain di film lain, bayangan Dom tidak bisa hilang. Singlet itu bukan lagi kostum. Ia sudah menjadi bahasa visual. Kau melihatnya, kau langsung membaca ceritanya. Tak perlu dialog panjang. Tak perlu pengantar.
Ada sesuatu yang manusiawi dari itu; Singlet di tubuh Vin Diesel, sebuah kain murah berubah jadi tanda keaslian, tanda kesederhanaan, tanda kejujuran yang jarang ditemukan di Hollywood.
Barangkali kita bisa saja menertawakannya; mengapa singlet dianggap serius? Tapi coba bayangkan: berapa banyak aktor yang punya ciri yang begitu melekat? Schwarzenegger punya aksen dan tubuh baja. Stallone punya tatapan berat dan suara serak. Vin Diesel, entah bagaimana, punya singlet. Dan anehnya, itu cukup.
Di satu sisi, singlet memberi kekuatan. Penonton merasa mengenalnya. Mereka percaya ia bukan bintang yang hidup di hotel mewah. Mereka percaya ia masih lelaki garasi yang sama, meskipun mobil di sekelilingnya sudah melompat dari gedung pencakar langit.Â
Tapi di sisi lain, singlet juga jadi jebakan. Diesel begitu identik dengannya sampai sulit membayangkan ia memainkan karakter yang jauh berbeda. Kalau suatu hari ia muncul dalam film drama romantis, duduk di kafe Paris dengan sweater rajut biru, sebagian besar penonton mungkin tidak akan serius. Mereka akan bertanya: di mana singletnya?
Di sini saya merasa agak tergelitik. Saya suka membayangkan lemari Vin Diesel di rumah. Bukannya penuh dengan setelan jas atau kemeja rapi. Tapi penuh rak-rak singlet, dilipat rapi. Putih, hitam, abu-abu. Seolah-olah ia bisa melewati setahun penuh hanya dengan berganti singlet setiap hari. Mungkin di sudut lemari ada satu jas formal. Hanya dipakai saat pemakaman atau acara penghargaan. Dan setiap kali ia mengenakan jas itu, ia mungkin merasa aneh, seolah sedang menyamar.
Singlet juga bisa dilihat sebagai bentuk pemberontakan kecil. Hollywood selalu memaksa glamor, selalu ingin aktor tampil rapi, mewah, penuh gaya. Diesel menolak itu. Ia membawa singlet, sebuah pakaian kelas pekerja, ke layar terbesar. Ia membuatnya sah dipakai di panggung global. Dan penonton menyukainya, karena di balik semua mobil mahal dan adegan berlebihan, ada sesuatu yang sederhana, yang membuat cerita itu tetap menjejak tanah.
Namun tidak semua orang melihatnya begitu. Ada juga kritik. Singlet yang terus-menerus dipakai membuat Diesel terjebak dalam pengulangan. Tidak ada ruang untuk perkembangan gaya. Tidak ada variasi. Bagi beberapa orang, itu membosankan. Seperti mendengar lagu yang itu itu saja, diulang-ulang dan begitu pula singlet Diesel: kadang terasa hanya jadi pengulangan nadi lama yang terus diputar, tanpa denyut baru.
Tapi mungkin itu juga yang membuatnya jujur. Ia tidak berpura-pura. Ia tidak mencoba jadi sesuatu yang lain. Ia tahu di mana ia berdiri.
Dan pada akhirnya, kita tidak bisa menyangkal daya tahannya. Dua puluh tahun lebih Fast & Furious berjalan, aktor lain keluar masuk, mobil berganti, cerita makin absurd. Tapi singlet tetap ada. Ia hadir di setiap babak, di setiap makan malam keluarga, di setiap adegan kejar-kejaran. Ia menjadi seperti karakter tambahan, tak tercatat di daftar pemeran, tapi selalu muncul.
Vin Diesel mungkin tidak akan pernah benar-benar bisa meninggalkan singlet. Sama seperti kita tidak bisa meninggalkan kebiasaan kecil yang membentuk diri. Kaos lusuh atau piama yang kita pakai tidur. Jaket lama yang tidak pernah kita buang. Ada sesuatu yang terlalu intim, terlalu melekat. Singlet bagi Vin Diesel bukan kostum. Ia adalah bagian dari tubuhnya.
Dan mungkin, jawaban kenapa Vin Diesel selalu memakai singlet sesederhana ini: karena itu dirinya. Karena di dunia yang penuh kepalsuan, ia memilih sesuatu yang nyata. Karena sehelai kain tanpa lengan bisa lebih jujur daripada semua jas yang paling mahal.
Kita bisa menertawakannya. Kita bisa menganggapnya berlebihan. Tapi ketika layar gelap, mesin mobil meraung, dan ia muncul dengan singletnya, kita tetap percaya. Karena ada keaslian yang tidak bisa dipalsukan.
Itulah kenapa, bahkan jika suatu saat nanti Vin Diesel berperan di film musikal atau drama keluarga, sebagian dari kita tetap akan menunggu. Menunggu momen ketika ia melepas jasnya, dan kembali ke singlet.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI