Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kepingan Ingatan tentang Ibu, Dermaga, dan Rahasia yang Dibawanya

8 Oktober 2020   13:54 Diperbarui: 9 Oktober 2020   05:38 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana di dermaga| Sumber: pixabay.com- Tim Hill

Dan, tanpa memasang ekspektasi berlebih, barangkali pilihan paling tepat bagiku saat ini adalah datang ke dermaga, semata-mata untuk mengingat wajahnya, aroma tubuhnya, juga suaranya yang dulu menenangkan masa kecilku.

Sesekali aku mencatat tanggal di dalam kepalaku. Sebentar lagi bulan Desember akan memenuhi nama-nama di dinding dan ibu akan terasa jauh lebih dekat denganku ketimbang di bulan-bulan yang lain.

Tepat di bulan Juli kemarin, usiaku genap tujuh belas tahun. Kata orang, tujuh belas adalah perpindahan masa remaja menuju jenjang yang lebih matang. Seperti yang Nyonya Clara pernah bilang, semakin usiaku bertambah, aku jadi semakin mirip dengan ibu. 

Aku mengamininya setiap kali menemukan diriku sedang becermin; mata sayuku, rambut hitamku, bentuk bibir juga jari-jariku yang lentik. Bedanya, ibu selalu tampak cantik, sedangkan aku sungguh tidak pandai bersolek. Ibu akan selalu ada dan hidup di dalam diriku, kata Nyonya Clara lagi.

Matahari sedikit demi sedikit menenggelamkan dirinya. Dari dermaga ini, ia tampak akan bersembunyi ke dasar air. Di kejauhan, kapal-kapal perlahan membentuk siluet. Burung-burung yang aku tak tahu jenisnya beterbangan. Mataku menangkap seekor burung yang terpisah cukup jauh dari rombongannya. Aku membayangkan burung itu adalah aku. Bedanya, ia mampu dan tahu ke mana harus menuju, sementara aku tidak.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah setelah lebih dari tiga jam duduk di kursi yang memuat selonjoran kaki di atas dermaga ini. Menikmati embusan angin yang semakin sejuk seiring cahaya di langit berubah jadi lebih merah dan sendu. Segala yang terasa, terdengar, terlihat dan tercium oleh indraku menciptakan kedamaian sekaligus kesepian. 

Aku tahu hari ini ibu masih tidak akan pulang. Kalaupun pulang, kecil kemungkinan ia memilih petang sebagai waktu kepulangannya. Karena setahuku ibu lebih menyukai pagi, awal dari sesuatu yang baru, sekaligus waktu yang menyimpan rahasia dari siapa dan apa yang datang dan tidak akan pernah datang.

Sekitar satu jam setelah aku tiba di rumah, aku mendengar suara ketukan di balik pintu. Aku cukup kaget dan agak semringah. Barangkali itu Tuan Charles, tetangga dekat yang bekerja sebagai nelayan. 

Ia sering pergi ke kota dan memberiku ikan hasil tangkapannya. Mungkin hari ini, selain memberiku beberapa ekor ikan, ia juga mendapatkan sedikit informasi mengenai ibu untuk ia bagikan kepadaku.

Perlahan aku mendekati pintu, mengintip tamu itu dari celah lubang kunci. Namun aku tahu pasti itu bukan Tuan Charles. Aku melihat ada seorang wanita di luar. Dan mataku bisa menangkap kalau ia tidak sendiri. Setidaknya ada dua orang pria berpakaian hitam dan bertubuh cukup besar yang masing-masing berdiri di sisi kiri dan kanannya.

Sedikit demi sedikit pintu kubuka. Cahaya redup dari lampu-lampu di ruang tamuku perlahan sampai ke wajah wanita itu. Kulitnya agak berkeriput. Ia mengenakan pakaian bekerlipan yang agak mencolok jika digunakan di malam hari, serta topi model fedora berwarna ungu yang menutupi sebagian besar kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun