Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lukisan

23 Juli 2019   15:12 Diperbarui: 1 Agustus 2019   19:59 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
randfonteinherald.co.za

Cuaca sedang tidak terlalu bagus. Tapi siapa juga yang mau mendengar ocehan saya tentang sesuatu yang tidak bisa diubah. Selain kanvas, pensil, kuas dan taman yang sedang membunuh dirinya sendiri dengan menciptakan kelengangan di bawah siang yang sangat terik ini. Hanya mereka yang memahami saya.

Saya baru menyelesaikan satu lukisan hari ini. Setelah berlari-lari kecil mengelilingi taman beberapa kali namun belum juga saya mendapatkan ilham. 


Kebetulan sedang tidak ada yang memesan lukisan wajah kepada saya selama beberapa hari atau lebih tepatnya hampir dua minggu. Jadi saya bisa menghabiskan banyak waktu untuk berkeliling taman, meminum kopi hingga tidur siang. Dan tentunya, melukis sembarang.

Sudah cukup lama saya membangun ruang seni di dekat taman kota ini. Sekitaran tiga tahun. Meskipun tidak terlalu luas, tapi cukuplah untuk saya seorang diri serta beberapa jejer karya lukis saya yang belum laku itu. Ah, tapi setidaknya saya sudah hidup sebagaimana yang saya inginkan walau harus ditentang ibu saya dan sempat membuat saya takut andai dia mulai berpikir untuk mengutuk saya menjadi batu saja. Daripada harus membiarkan saya berhenti kuliah di semester lima.

Sekitar tiga tahun lalu taman kota ini, menurut saya, masih sangat ramai. Baru beberapa bulan ini saja jadi bertambah sepi. Saya menduga ini karena pembangunan mal besar yang berjarak tiga blok dari sini sudah selesai. Jadi mereka yang biasanya sering bersantai dan menghabiskan waktu sore di taman ini mulai berpindah ke tempat yang lebih moderen itu.

Dari yang dulunya saya bisa mendapat pesanan dua sampai empat lukisan wajah dalam sehari, kini nyaris sudah tidak ada lagi. Eksistensi ruang seni serta karya saya di pinggiran taman kota ini sudah tidak memiliki tempat di tengah perkembangan zaman yang kemajuannya melesat bagai kilat.

Belum lagi setelah saya sadar kalau seni lukis sekarang juga mendapat saingan dari aplikasi edit foto macam Photoshop atau CorelDraw atau apalah itu. Saya kurang tahu dan terus terang saja saya memang tidak mahir komputer. Sudah cukup lama juga, sejak saya kuliah meski memang hanya bergelut dengan menulis laporan dan makalah lewat program Microsoft Office Word. Selebihnya saya cuma mengerti cara menyalakan dan mematikan komputer.

***

Kalau tidak salah, sudah tiga putaran saya mengelilingi taman. Saya berkeringat. Saya duduk sebentar di kursi depan. Teman saya, Oyong, pemilik kedai kecil-kecilan di samping ruang seni saya bilang kalau beberapa saat lalu ada seorang perempuan yang meminta untuk dilukis. Tapi sudah pulang, katanya. Oh, kata saya.

"Cantik orangnya, Rus," dia bilang, "memang kau habis dari mana?"

"Biasa. Lari berkeliling. Mencari keringat dan inspirasi," terang saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun