Dan pada saat itulah Habibie kembali berjumpa dengan Ainun setelah sekian lama. Setelah makian itu. Hingga kemudian ia menyadari bahwa ada sesuatu yang menyala di dalam dadanya. Gula Jawa yang hitam telah menjelma gula pasir. Atau semacam cahaya terang yang menghidupkan hal-hal tabu yang beku dan mati di dalam hatinya.
Cinta adalah perkara yang paling tidak logis. Yang terkadang membuat penganutnya tidak memerlukan alasan untuk menyukai seseorang. Waktu mengupas benci hingga menjadi sangat runcing dan tajam. Menghujamkannya tepat di sela-sela rusuk Habibie. Si Jawa-Hitam-Gendut-nya telah bermetamorfosa menjadi kepingan pelengkap hidup yang tidak pernah ia bayangkan.
Empat puluh delapan tahun setelah pernikahan, Ainun harus terbaring di mesin MRI yang digunakan untuk mendiagnosa berbagai macam penyakit di dalam tubuh. Di waktu yang sama, di balik telepon, Habibie sudah merencanakan keberangkatan secepat mungkin dari Jakarta menuju Munchen demi menemani masa-masa sulit yang mulai memeluk istrinya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya kanker ovarium stadium 3-4," kata Habibie mengenang sambil menirukan ucapan Ainun. Sudah tidak ada yang bisa disembunyikan. Mereka sama-sama terdiam.
Sejak saat itu Ainun meminta untuk kembali di berangkatkan ke Indonesia. Ia hanya tidak ingin meninggal di tanah orang. Terlebih karena Ainun juga ingin berhadir di sebuah acara rapat organisasi yang bergerak di bidang donor mata bagi tunanetra.
Di sisi lain, Ainun juga harus menjalani serangkaian operasi dalam kurun waktu sebulan. Sebelum operasi pertama, Habibie membantu Ainun untuk membersihkan tubuhnya. Menuruti ucapan Ainun, "Saya mau mati. Tapi saya tidak ingin pakaian saya kotor."
Di Rumah Sakit Ludwig-Maximillians-Universitat, juga di malam yang sama di mana Ainun memangkas rambutnya dan Habibie berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkannya.
Seusai melakukan operasi yang ke sekian, pada sebuah sore yang dingin di kepala Habibie, Ainun mengembuskan nafas terakhir setelah sehari sebelumnya berada dalam kondisi kritis. Jasadnya sampai ke Taman Makam Pahlawan Indonesia pada 25 Mei 2010 diiringi oleh duka mendalam dari seorang yang hanya mampu menyimpan satu nama di dalam hatinya.
Kepergian Ainun memberikan kehilangan terberat dalam kehidupannya. Hingga ia didiagnosa mengidap psikosomatis. Habibie kemudian mengatasi masalah tersebut dengan menulis buku yang mengisahkan perjalanan cintanya bersama Ainun.Â