Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Belajar Mencintai dari Seorang BJ Habibie

26 Juni 2019   15:22 Diperbarui: 11 September 2019   21:05 2751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Habibie dan Ainun dalam salah satu ruangan di kediaman Presiden ketiga RI BJ Habibie di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. (KOMPAS.com/SABRINA ASRIL)

Pada tanggal 25 Juni kemarin, Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng atau biasa kita kenal dan sebut sebagai BJ Habibie berulang tahun. 

Usia beliau kini sudah menginjak angka 83. Presiden ketiga Republik Indonesia ini memang dikenal sebagai salah satu manusia dengan karir yang brilian pada perjalanan hidupnya. Namanya pernah harum sampai ke Jerman sebagai seorang wakil presiden sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang teknologi di Hamburg.

Selain menginspirasi banyak orang dalam hal karir dan pekerjaan, beliau juga menyentuh hati banyak insan dengan kisah cinta abadi bersama Hasri Ainun Besari.

BJ Habibie didampingi Hasri Ainun Habibie. TEMPO/Bernard Chaniago
BJ Habibie didampingi Hasri Ainun Habibie. TEMPO/Bernard Chaniago
Kendati wanita yang kerap disapa Ainun tersebut telah pergi mendahului sembilan tahun yang lalu, namun perasaan yang tertanam di hatinya seperti tidak pernah diciptakan untuk luruh bersama waktu. Ainun adalah yang pertama sekaligus sebagai yang terakhir. Yang mengetuk dan ia biarkan masuk. Sisanya adalah kenangan yang terekam dan tidak hancur apalagi terganti.

Menarik mundur ke belakang, ketika beliau menjadi bintang tamu dalam sebuah acara Talkshow yang dipandu oleh Rosiana Silalahi pada tahun 2017 lalu. Ketika itu beliau mengaku bahwa pada awalnya tidak pernah merasa tertarik kepada perempuan yang ia sebut gula Jawa itu. Meskipun, menurutnya ada banyak laki-laki yang menyukai Ainun.

Sejatinya Habibie kecil sudah dekat dengan ayah Ainun sejak masih berusia dua belas tahun. Ia mengagumi kepintaran ayah Ainun. Dan pada beberapa waktu, kedekatan Habibie dan ayah Ainun tersebut dimanfaat oleh kawan laki-laki Habibie untuk bisa mendekati Ainun atau berbicara padanya selagi Habibie sibuk berdiskusi dengan ayahnya. Karena memang ayah Ainun dikenal sebagai orang yang galak. Tapi bagi Habibie, ayah Ainun adalah orang yang baik dan cerdas.

Di Masa SMA, Habibie dan Ainun berada dalam satu sekolah yang sama. Hanya saja, Ainun satu angkatan lebih muda. Mereka dicap sebagai dua murid yang memiliki satu kesamaan. Yakni sama-sama pandai. Bahkan guru pernah menggoda mereka dengan menjodoh-jodohkan atau memberi pengandaian jika saja mereka berdua menikah, pastilah anak mereka bakal menjadi anak yang cerdas.

BJ Habibie di hadapan makam istrinya, Hasri Ainun. [inovasee.com]
BJ Habibie di hadapan makam istrinya, Hasri Ainun. [inovasee.com]
Bagi Habibie, tidak ada alasan untuk menyukai godaan-godaan semacam itu. Merasa ilfil, ia pun mengejek Ainun dengan sebutan gendut dan jelek.

"Jawa, gendut, jelek. Kamu kok hitam kayak gula jawa," kenangnya di acara Rosi.

Namun Ainun tidak pernah marah meski Habibie memakinya dengan ucapan-ucapan rasial semacam itu. Habibie pun perlahan merasa malu.

Delapan tahun setelahnya, selulusnya dari ITB dan sesudah mengeyam banyak ilmu dari bangku kuliah di Jerman, Habibie akhirnya pulang. Sang Ibu mengajaknya untuk ke rumah Ainun. Pikirannya carut, mengingat ungkapan-ungkapan pada Ainun yang harusnya tidak dia katakan. Malu, pasti.

Dan pada saat itulah Habibie kembali berjumpa dengan Ainun setelah sekian lama. Setelah makian itu. Hingga kemudian ia menyadari bahwa ada sesuatu yang menyala di dalam dadanya. Gula Jawa yang hitam telah menjelma gula pasir. Atau semacam cahaya terang yang menghidupkan hal-hal tabu yang beku dan mati di dalam hatinya.

Cinta adalah perkara yang paling tidak logis. Yang terkadang membuat penganutnya tidak memerlukan alasan untuk menyukai seseorang. Waktu mengupas benci hingga menjadi sangat runcing dan tajam. Menghujamkannya tepat di sela-sela rusuk Habibie. Si Jawa-Hitam-Gendut-nya telah bermetamorfosa menjadi kepingan pelengkap hidup yang tidak pernah ia bayangkan.

Habibie muda (brilio.net)
Habibie muda (brilio.net)
Habibie menikahi Ainun pada 12 Mei 1962, menghabiskan bulan madu dari Yogyakarta sampai Ujung Pandang. Berbahagia dan sejahtera hingga dikaruniai dua anak serta enam orang cucu.

Empat puluh delapan tahun setelah pernikahan, Ainun harus terbaring di mesin MRI yang digunakan untuk mendiagnosa berbagai macam penyakit di dalam tubuh. Di waktu yang sama, di balik telepon, Habibie sudah merencanakan keberangkatan secepat mungkin dari Jakarta menuju Munchen demi menemani masa-masa sulit yang mulai memeluk istrinya.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya kanker ovarium stadium 3-4," kata Habibie mengenang sambil menirukan ucapan Ainun. Sudah tidak ada yang bisa disembunyikan. Mereka sama-sama terdiam.

Sejak saat itu Ainun meminta untuk kembali di berangkatkan ke Indonesia. Ia hanya tidak ingin meninggal di tanah orang. Terlebih karena Ainun juga ingin berhadir di sebuah acara rapat organisasi yang bergerak di bidang donor mata bagi tunanetra.

Di sisi lain, Ainun juga harus menjalani serangkaian operasi dalam kurun waktu sebulan. Sebelum operasi pertama, Habibie membantu Ainun untuk membersihkan tubuhnya. Menuruti ucapan Ainun, "Saya mau mati. Tapi saya tidak ingin pakaian saya kotor."

Di Rumah Sakit Ludwig-Maximillians-Universitat, juga di malam yang sama di mana Ainun memangkas rambutnya dan Habibie berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkannya.

Seusai melakukan operasi yang ke sekian, pada sebuah sore yang dingin di kepala Habibie, Ainun mengembuskan nafas terakhir setelah sehari sebelumnya berada dalam kondisi kritis. Jasadnya sampai ke Taman Makam Pahlawan Indonesia pada 25 Mei 2010 diiringi oleh duka mendalam dari seorang yang hanya mampu menyimpan satu nama di dalam hatinya.

Kepergian Ainun memberikan kehilangan terberat dalam kehidupannya. Hingga ia didiagnosa mengidap psikosomatis. Habibie kemudian mengatasi masalah tersebut dengan menulis buku yang mengisahkan perjalanan cintanya bersama Ainun. 

Sampul buku Habibie dan Ainun. (id.Carousell.com)
Sampul buku Habibie dan Ainun. (id.Carousell.com)
Buku yang terjual 5000 eksemplar dalam kurun waktu satu minggu. Bahkan dari buku tersebut, pada tahun 2012 lahirlah sebuah film berjudul "Habibie & Ainun" yang segalanya ia persembahkan untuk mengenang Ainun.

Hingga hari ini, doa Habibie terus mengalir untuk Ainun, serta sebuah keinginan yang besar untuk kembali dipertemukan dalam sebuah kekekalan. Setiap Jumat, bila ia sedang berada di Jakarta,  ia selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke makam istrinya, melantunkan sebaris doa yang kehangatannya melebihi sinar matahari yang terbit dan tenggelam di atas kepalanya. Makam Ainun ia jadikan yang paling asri dengan bunga yang rutin diganti.

Makam Ainun di Taman Makam Pahlawan. (foto: Elza/detikcom)
Makam Ainun di Taman Makam Pahlawan. (foto: Elza/detikcom)
Bahkan sebidang tanah yang kosong telah ia persiapkan di samping peristirahatan Ainun. Suatu waktu ketika ia juga meninggal, pilihan terbaiknya hanya satu, yaitu kembali berbaring di sebelah Ainun. 

Selain dalam bidang karir,  kita juga perlu banyak belajar tentang mencintai dari seorang BJ Habibie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun