Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Sekolahnya, Tak Perlu Dibandingkan

17 Oktober 2025   13:49 Diperbarui: 17 Oktober 2025   13:49 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru sedang mengikuti pelatihan.  Sumber foto : dokumen pribadi 

Dua puluh tahun lalu, ketika saya masih menjadi guru honorer di sebuah SMA swasta kecil, saya sering merasa rendah diri setiap kali mengikuti pelatihan bersama guru-guru dari sekolah negeri favorit. Mereka datang dengan bangga mengenakan seragam sekolahnya, membawa laptop baru, dan bercerita tentang laboratorium lengkap, kegiatan internasional, serta berbagai liputan media yang sering mengangkat nama sekolah mereka.

Saya hanya bisa tersenyum, meski di dalam hati ada rasa iri yang sulit dihindari. Di sekolah saya waktu itu, meja guru masih reyot, papan tulis sering retak, dan listrik kadang padam di tengah pelajaran. Ruang guru lebih mirip gudang buku bekas, tapi di sanalah kami menyiapkan rencana pelajaran dengan semangat yang tak kalah besar.

Namun, seiring waktu, saya belajar satu hal penting: tidak ada sekolah yang benar-benar sempurna. Setiap sekolah punya medan perjuangannya sendiri. Ada yang bergulat dengan fasilitas yang minim, ada yang berjuang menghadapi disiplin siswa yang longgar, dan ada juga yang sibuk menyesuaikan diri dengan perubahan kurikulum yang seolah tak pernah berhenti. Semua guru, di manapun ia mengajar, sedang berjuang di medan yang berbeda, tapi dengan semangat yang sama---mendidik anak bangsa.

Saya pernah berkunjung ke sebuah SD kecil di ujung desa. Jalannya masih tanah merah, dan setiap musim hujan, motor guru harus dituntun melewati genangan lumpur. Tapi begitu bel tanda masuk berbunyi, wajah-wajah anak di sana bersinar. Tak ada laboratorium, tak ada pendingin ruangan, tapi ada tawa yang tulus dan rasa ingin tahu yang hidup. Seorang guru di sana berkata sambil tersenyum, "Kami memang tidak punya banyak alat, Pak, tapi kami punya semangat."

Kalimat itu sederhana, tapi menggetarkan. Ia membuat saya sadar bahwa ukuran keberhasilan pendidikan tidak selalu terlihat dari gedung yang megah atau peralatan yang canggih. Kadang, justru di sekolah-sekolah kecil yang jauh dari sorotan itulah nilai-nilai sejati pendidikan tumbuh dengan kuat: keikhlasan, kesabaran, dan kasih sayang yang murni.

Saya juga pernah mengajar di sekolah yang berada tak jauh dari kota. Fasilitasnya jauh lebih baik, tapi masalahnya lain. Guru-gurunya harus berhadapan dengan tekanan orang tua yang kritis, ekspektasi tinggi dari lembaga, dan tuntutan administrasi yang semakin menumpuk. Mereka bukan tidak lelah, tapi tidak punya pilihan selain terus berjalan. Di sinilah saya menyadari, medan perjuangan guru tidak bisa dibandingkan hanya dari luar. Kadang terlihat tenang, tapi di baliknya ada badai yang tak terlihat.

Sering kali, kita terjebak dalam kebiasaan membandingkan. "Sekolah sana lebih maju." "Kepala sekolahnya lebih kreatif." "Guru-gurunya lebih inovatif." Padahal, perbandingan semacam itu sering kali tidak adil. Karena setiap sekolah berjalan dengan sumber daya, konteks sosial, dan tantangan yang berbeda. Yang membuat sekolah besar bukan dindingnya, tapi hati-hati yang bekerja di dalamnya.

Saya ingat sebuah pengalaman ketika menjadi kepala sekolah di tempat saya sekarang. Suatu ketika, seorang guru muda datang ke ruang saya, wajahnya murung. "Pak, kalau lihat media sosial sekolah lain, saya merasa minder. Mereka punya program keren, kegiatan viral, liputan media. Sekolah kita kelihatannya biasa-biasa saja."

Saya tersenyum dan berkata pelan, "Tidak apa-apa kita belum viral, yang penting kita tetap berjuang dengan tulus. Karena pendidikan bukan lomba popularitas. Tidak semua perjuangan harus terlihat kamera."

Guru itu diam, lalu mengangguk. Beberapa hari kemudian, saya melihatnya kembali bersemangat mengajar di kelasnya yang sederhana. Ia menulis di papan tulis dengan huruf besar: 'Kelas ini mungkin kecil, tapi mimpi kita besar.' Dan saya tahu, semangatnya kembali hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun