Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jet Lag Akademik

8 April 2025   15:50 Diperbarui: 8 April 2025   15:50 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi.  Sumber foto : Canva

Lebaran baru saja berlalu. Rumah-rumah yang kemarin riuh oleh tawa keluarga kini kembali sunyi. Baju baru sudah dicuci, toples kue mulai kosong, dan kalender menunjukkan bahwa masa libur telah usai. Sekolah kembali menanti, lengkap dengan bel pagi dan buku pelajaran yang tertumpuk di sudut meja. Namun transisi ini—dari suasana lebaran yang hangat menuju rutinitas sekolah yang disiplin—tak selalu mudah.

Bagi sebagian siswa, kembali ke sekolah setelah libur panjang terasa seperti dilempar kembali ke dunia yang asing. Seperti jet lag setelah penerbangan jauh, otak pun seakan belum siap mencerna angka, rumus, atau paragraf panjang dari buku teks. Tubuh mungkin hadir di kelas, tapi pikirannya tertinggal di kampung halaman, di meja makan yang penuh opor ayam, atau di pelukan nenek yang jarang dijumpai.

Fenomena ini sering disebut sebagai “jet lag akademik”. Ia bukan istilah medis, tapi cukup menggambarkan kekacauan ritme biologis, emosional, dan kognitif yang dialami siswa setelah jeda belajar yang lama. Sayangnya, ini sering dianggap sepele. Kita terbiasa menganggap hari pertama sekolah sebagai saat di mana semuanya langsung berjalan normal. Padahal tidak.

Kita terlalu fokus pada agenda: menyelesaikan silabus, membagikan jadwal, atau langsung masuk ke materi baru. Padahal yang kita hadapi adalah manusia-manusia kecil yang sedang mengalami perubahan mendadak dalam pola hidupnya. Anak yang seminggu lalu bangun pukul sembilan, kini harus duduk di kelas pukul tujuh pagi. Anak yang kemarin dikelilingi oleh keluarga, kini duduk diam mendengarkan guru berbicara selama dua jam. Tidak semua bisa beradaptasi secepat itu.

Dan persoalan ini bukan hanya milik siswa. Guru pun kerap mengalami hal serupa. Setelah sekian hari bebas dari rutinitas mengajar, kembali ke ruang kelas bisa terasa melelahkan. Inspirasi belum tentu langsung datang, apalagi semangat. Sementara itu, sistem menuntut efisiensi: waktu tak boleh terbuang, materi harus tetap tercapai.

Yang sering terlewat dalam semua ini adalah kesadaran bahwa transisi—apapun bentuknya—perlu disiapkan. Bukan hanya perlengkapan sekolah yang harus dibeli atau jam tidur yang harus disesuaikan, tapi juga kesiapan mental dan emosional yang tak kalah pentingnya. Kita butuh cara pandang baru tentang bagaimana memulai kembali, terutama setelah sebuah jeda yang panjang dan bermakna seperti libur Lebaran.

Sayangnya, narasi yang dominan selama ini masih terlalu teknis. Anak diminta segera membaca ulang materi, merapikan seragam, dan mengatur ulang jadwal tidur. Semua itu penting, tentu saja. Tapi tanpa ruang untuk menata batin, semua kesiapan itu hanya seperti menyiapkan tubuh tanpa jiwa. Anak mungkin hadir secara fisik, tapi belum benar-benar “hadir” untuk belajar.

Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih manusiawi. Kita perlu mengubah minggu pertama masuk sekolah menjadi masa adaptasi, bukan perlombaan. Biarkan anak-anak bercerita dulu tentang liburannya. Izinkan mereka tertawa, berbagi kisah, bahkan mengeluh tentang rasa malas mereka. Semua itu adalah bagian dari penyembuhan jet lag akademik.

Guru memiliki peran penting di sini. Pendekatan pedagogis yang adaptif dan penuh empati sangat dibutuhkan. Kelas bisa dimulai dengan permainan ringan, diskusi terbuka, atau kegiatan yang membuat anak merasa aman dan dihargai. Belajar tidak harus langsung berarti duduk diam dan mencatat. Ia bisa dimulai dari kehadiran yang utuh, dari rasa senang datang ke sekolah, dari hubungan yang hangat antara guru dan murid.

Orang tua pun punya peran yang tak kalah penting. Sering kali kita berpikir bahwa tanggung jawab pendidikan hanya berhenti di gerbang sekolah. Padahal suasana rumah berperan besar dalam membentuk kesiapan belajar anak. Rutinitas tidur yang kembali teratur, makan pagi yang cukup, obrolan ringan sebelum berangkat sekolah—semuanya adalah bentuk dukungan yang konkret. Bahkan sekadar menanyakan, “Kamu semangat sekolah hari ini?” bisa menjadi percikan kecil yang memberi energi besar bagi anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun