Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polemik Pembubaran HTI

9 Mei 2017   10:59 Diperbarui: 9 Mei 2017   11:15 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sinyalemen akan dibubarkannya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah telah secara resmi dibacakan oleh Menko Polhukam, Wiranto kemarin (8/5) di gedung Kemenko Polhukam, Jakarta. Wiranto yang juga didampingi oleh Kapolri, Menkumham dan Mendagri telah membacakan keputusan pemerintah soal pembubaran HTI yang dianggap sebagai ormas yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Walaupun keputusan ini tetap menuai polemik, namun langkah pemerintah untuk tetap memproses secara hukum pembubaran HTI tampaknya tidak main-main, karena HTI sejauh ini dianggap sebagai ormas yang anti-Pancasila yang tentu saja dianggap berbahaya bagi keutuhan NKRI. Pemerintah tampaknya sedang menjalankan fungsi negara sebagai kontrol sosial, dimana ketika ada ormas yang dirasa mengganggu stabilitas sosial dalam banyak kegiatannya, akan secara tegas ditertibkan demi keseimbangan kondisi sosial.

Keberadaan HTI, sejauh ini memang selalu mengkampanyekan khilafah Islam terpadu sedunia yang disebarkan melalui serangkaian diskusi-diskusi publik atau unjuk rasa yang hampir tanpa pretensi politik—karena memang HTI tidak masuk dalam dunia praksis politik. Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan) yang masuk ke Indonesia sejak 1982 melalui seorang aktivis HT yang tinggal di Australia, Abdurrahman al-Baghdadi memang sejak didirikannya pada 1953 selalu bercita-cita untuk membentuk negara Islam se-dunia melalui serangkaian proses pengkaderan, pemasyarakatan yang tujuan terakhirnya adalah pengambilalihan kekuasaan. Sejauh ini, HT sudah tersebar diberbagai penjuru dunia, walaupun tak sedikit organisasi ini kemudian dibubarkan oleh otoritas pemerintahan setempat dimana HT muncul sebagai sebuah kekuatan massa.

M Dawam Rahardjo pernah menyebut HT sebagai bentuk varian ideologi Islamisme yang terus menyuarakan dan menggagas terbentuknya khilafah Islam Internasional meskipun dianggap “anti-kekerasan”. Seluruh aktivitas HT di Indonesia selalu mengedepankan cara-cara persuasif dan tanpa kekerasan walaupun pada kenyataannya, mereka mempertahankan ideologi Islamisme-nya secara lebih kaku, rigid dan seringkali berseberangan dengan ideologi Islam lainnya yang lebih moderat. Sekalipun HT ini dibilang cukup vokal, gerakan Islamisme atau fundamentalisme ini berada pada posisi marjinal yang tidak memiliki peran penting dalam mainstream politik kekuasaan. Oleh karena itu, instruksi pembubaran HTI oleh pemerintah jika dilihat pada konteks hukum Indonesia—jika tidak didahului oleh prosedur hukum—tentu akan menuai polemik ditengah masyarakat, karena bisa saja ini merupakan “aksi sepihak” tanpa didahului oleh proses dialog terlebih dahulu.

Hal inilah, saya kira yang kemudian juga membuka suara para petinggi negara yang mengkritik kebijakan pemerintah soal pembubaran ormas HTI jika tidak didasarkan pada prosedur hukum. Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid bahkan secara tegas menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa membubarkan ormas berbadan hukum meski ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila. Hidayat menyayangkan jika pembubabaran HTI tidak melalui mekanisme pengadilan karena jelas pada akhirnya hukum hanya akan berpihak pada “yang kuat” dan pada sisi tertentu akan mudah menggilas “yang lemah”. Nada protes juga terungkap dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, yang menekankan agar langkah pemerintah atas pembubaran HTI haruslah konstitusional dan didasarkan atas prinsip hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Langkah pemerintah seharusnya juga berlaku umum terhadap gerakan apapun yang berlawanan dan mengancam Pancasila dan UUD 1945, termasuk gerakan komunisme dan separatisme.

Jika dilihat dari konstruksi ideologinya, HT—dan juga berbagai kelompok Islam “garis keras” seperti FPI, Laskar Jihad dan MMI—merupakan varian dari ideologi Islamisme “radikal” yang paling mutakhir. Organisasi ini pada umumnya meluapkan ekspresi ketidakpuasan terhadap kepemimpinan gerakan Islam moderat yang diwakili oleh NU ataupun Muhammadiyah, terlebih kedua ormas Islam yang disebut terakhir ini malah mendorong lahirnya partai politik baru yang terbuka dan mengalami sekularisasi yang cukup jauh, sehingga jelas menambah kekecewaan mereka. Maka wajar, kelompok garis keras ini sengaja terus berusaha memprakarsai untuk mengambil alih kepemimpinan umat Islam melalui serangkaian “gerakan ideologis” yang semakin massif ditularkan kepada masyarakat yang terkadang diwarnai “aksi kekerasan” bahkan terhadap sesama umat muslim dengan alasan-alasan teologis. Ormas Islam yang paling vokal agar ormas seperti ini dibubarkan oleh pemerintah sejauh ini hanya melekat pada NU karena dipandang kontraproduktif dengan ajaran Islam moderat.

Saya termasuk yang sepakat dengan pendapat Haidar Nashir, dimana mendukung pemerintah untuk tetap mengedepankan proses hukum terhadap ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 untuk dibubarkan. Walaupun memang harus tetap dilihat, bahwa ormas yang dianggap melanggar ideologi negara tidak distigmatisasikan kepada HTI, bahkan lebih jauh pada akhirnya terbentuk stigmatisasi yang buruk dalam masyarakat, bahwa Islam secara umum pada akhirnya dianggap sebagai agama yang cenderung melahirkan gerakan-gerakan radikal yang anti-Pancasila, anti-kebhinekaan bahkan anti-persatuan. Sebagai ormas berbadan hukum, proses pembubaran HTI harus dijelaskan secara rinci dan diuji berbagai penyimpangannya terhadap ideologi negara pada ranah hukum di pengadilan, sehingga publik dapat mengetahui secara berimbang kenapa pada akhirnya HTI harus dibubarkan. Pada akhirnya, pembubaran HTI harus menjadi pintu masuk pemerintah kedepan untuk melakukan “sterilisasi” ormas yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan pijakan ideologi negara secara umum yang juga harus dibubarkan.

Kita tentu harus berkaca pada model organisasi HT di negara-negara lain yang juga dibubarkan oleh otoritas setempat karena sikapnya yang bertentangan atau berlawanan dengan konsepsi kebangsaan dan kenegaraan sehingga berbahaya bagi kelangsungan negara. Keberadaan HT di berbagai negara yang kemudian dilarang, jelas mengasumsikan kepada sebuah gerakan makar yang bersifat politik, karena kebanyakan berupaya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah melalui beragam kritik dan propaganda yang tajam untuk mendapatkan simpati masyarakat. Sejauh ini, gerakan HTI yang mewujud di Indonesia walaupun merupakan perpanjangan tangan dari gerakan HT internasional, masih bersifat marjinal, ideologis bukan gerakan politik, sekedar menyuarakan perbedaan dan terhindar dari aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan kegelisahan masyarakat.

Negara dalam banyak hal memang memiliki fungsi kontrol sosial untuk menjamin stabilitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun fungsi ini juga jelas tetap harus mengedepankan aspek hukum dan rasa keadilan yang tercipta dalam sebuah masyarakat. Negara tentunya tak bisa didikte oleh kekuatan sosial-politik manapun yang hanya merasa “tidak nyaman” dengan keberadaan sebuah ormas, tanpa mempertimbangkan aspek hukum secara legal-formal yang tentunya menjadi ciri khas sebuah negara yang demokratis. Pembubaran ormas seperti HTI tak lantas kemudian menjatuhkan citra negara kembali menjadi “otoriter” jika seluruh proses pembubaran ini benar-benar disesuaikan dan tetap berada pada koridor hukum yang berlaku. Saya tetap mendukung pemerintah untuk terus membubarkan ormas-ormas yang anti-Pancasila atau anti-NKRI dalam bentuk apapun, bukan karena “keberpihakan” tapi karena menjunjung tinggi aspek penegakan hukum dan memberikan rasa keadilan masyarakat!   

Wallahu a'lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun