Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masjid KH Hasyim Asy'ari Jangan Dijadikan Sarana “Politisasi Agama”

15 April 2017   23:44 Diperbarui: 17 April 2017   01:00 2058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masjid KH Hasyim Asy’ari yang berdiri megah di lahan seluas 2,4 hektar di Daan Mogot, Jakarta Barat dengan biaya pembangunannya mencapai 164 miliar, baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Masjid yang menjadi ikon muslim Betawi ini, sebelum diresmikan oleh Presiden Jokowi sempat beberapa kali menjadi polemik. Dari mulai arsitekturnya yang terlihat tidak biasa bahkan bernuansa “kristiani” sampai kepada surat terbuka Dewan Pertimbangan MUI Pusat, M Din Syamsuddin, agar Presiden membatalkan peresmian masjid ini karena dianggap oleh Din sebagai masjid “dhirar”. Tidak dijelaskan apa yang kemudian dimaksud oleh Din bahwa masjid tersebut termasuk kategori “dhirar”, namun yang jelas kemungkinan merujuk kepada sejarah Islam awal, bahwa Nabi Muhammad saw pernah menolak keberadaan sebuah masjid yang dibangun oleh kelompok munafiq karena dianggap “dhirar” oleh Nabi.

Sejarah masjid dhirar sebenarnya dapat ditelusuri dalam beberapa antologi shirah nabawiyyah (perjalalan historis kenabian) yang pada umumnya berkait dengan peristiwa perang Tabuk yang saat itu sedang dialami umat muslim. Ibnu Hisyam (w.834M) yang menulis biografi Nabi Muhammad SAW dengan melanjutkan catatan-catatan historis karya Ibnu Ishaq (w.761M) menyebut masjid dhirar sebagai masjid yang kemudian dirobohkan dan dihancurkan oleh umat muslim karena masjid ini justru berpotensi menjadi pemecah-belah umat. Dari catatan sejarah yang diungkap oleh Ibnu Ishaq, bahwa Nabi SAW saat itu hendak bersiap-siap pergi menuju perang Tabuk, namun ada beberapa orang yang mendatanginya untuk memintakan doa restu masjid yang sedang mereka bangun. Ketika Nabi sampai di wilayah Dzu Awan, beliau justru diberi tahu tentang bagaimana, siapa dan apa tujuan masjid ini dibangun. Kemudian Nabi SAW menyuruh Malik bin al-Dukhsyum dan Ma’na bin Adi untuk menghancurkan dan membakar masjid tersebut.

Istilah “masjid dhirar” ini kemudian diabadikan dalam al-Quran yang tertulis dalam surat at-Taubah ayat 107: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan". Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)”. Para ulama tafsir kemudian menjelaskan bahwa masjid dhirar ini adalah masjid yang dibangun karena memang mengandung unsur kemudaratan (keburukan) didalamnya, termasuk adanya dorongan sum’ah (kesombongan) dan riya (mempertontonkan “kebaikan” untuk menutupi keburukan). Saya kira, sejauh tidak memenuhi unsur-unsur dhirar atau hal-hal yang tidak ada kemanfaatan didalamnya dan membawa kerusakan dan perpecahan umat karenanya, membangun masjid pada konteks kekinian, terlebih bukan dalam kondisi peperangan, justru dapat dimanfaatkan dan sangat bermanfaat bagi syi’ar agama Islam.

Konstelasi politik di Jakarta yang sangat tidak kondusif, terutama mengenai polarisasi soal pemimpin muslim dan non-muslim bahkan hingga persoalan kasus penistaan agama menjadikan banyak hal yang tentu saja menimbulkan banyak kecurigaan di tengah masyarakat. Banyak hal yang kemudian menjadi polemik dan selalu dihubungkan dengan realitas sejarah umat Islam awal yang bisa saja memang memiliki kemiripan atau keterkaitan dan tentu saja bisa tidak. Sejarah memang terkait dengan kesadaran masyarakat yang bertujuan untuk terus menerus menyempurnakan kehidupan sosialnya, demikian uraian Ibnu Khaldun (1332-1406). Dengan demikian menghubungkan, merekonstruksi, memaknai kejadian-kejadian masa lalu yang dihubungkan dengan masa kini adalah bagian dari sejarah kemanusiaan itu sendiri. Namun, bukankah sejarah berevolusi untuk sebuah  kemajuan bukan kemunduran?

Bagi saya, menghubungkan dengan sejarah masa lalu adalah sebuah keniscayaan, terlebih ini adalah terkait dengan fenomena keagamaan. Dimana hampir seluruh konstruksi bangunan hukum Islam yang berasal baik dari kitab suci al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas merupakan sebuah rekonstruksi sejarah yang diselaraskan dengan kondisi kekinian. Namun demikian, pendirian Masjid KH Hasyim Asy’ari jika dihubungkan dengan “dhirar” atau “kemudaratan” yang direkonstruksi dari sejarah perang Tabuk yang saat itu dalam kondisi chaos, akibat benturan kepentingan orang-orang munafiq yang terus menerus mengganggu dakwah Islam dan bahkan mereka ingkar dan menginjak-injak sumpah mereka sendiri, meninggalkan medan perang atau penuh kepura-puraan terhadap Islam, terkesan justru dipaksakan. Terlebih bahwa konstelasi politik di Jakarta tidaklah kondusif akibat polarisasi politik kasus penistaan agama yang sedang menjerat salah satu calon gubernurnya. Seandainya tidak sedang terjadi polarisasi seperti itu, maka dipastikan pendirian masjid KH Hasyim Asy’ari tidak mungkin dipolemikkan melalui sejarah penghancuran masjid dhirar oleh Nabi SAW.

Saya kira, perlu untuk melihat dan mendudukkan persoalan secara adil dan lebih jernih ditengah arus “politisasi agama” yang saat ini menguat dan menjadi isu sosial yang sangat sensitif. Idealnya sebuah pembangunan rumah ibadah, pasti sudah dikaji terlebih dahulu oleh unsur-unsur ulama, tokoh masyarakat dan juga pemerintah, sehingga dipastikan sejak awal ide pembangunan masjid ini-pun sebelum terjadi kasus hiruk-pikuknya kasus penistaan agama yang begitu besar tidaklah menimbulkan polemik ditengah publik, terutama umat muslim. Kehadiran salah satu cucu Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, KH Solahuddin Wahid, saya kira adalah petunjuk bahwa masjid ini sudah seharusnya tidak dipolemikkan terlebih “dipolitisasi” oleh pihak-pihak yang “berseberangan” secara politik. Saya yakin, Gus Sholah—panggilan akrab KH Sholahuddin Wahid—merupakan ulama “lurus” yang memahami sejarah dan filosofi pembangunan sebuah masjid, terlebih masjid ini merupakan simbol penghormatan untuk kakeknya, pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.

Bagi saya, reaksi berlebihan dari sekelompok umat muslim terhadap pembangunan masjid KH Hasyim Asy’ari dengan menghubung-hubungkan dengan asumsi kecurigaan dari rekonstruksi sejarah Islam, terminologi “masjid dhirar” yang dibesar-besarkan justru pada akhirnya bisa menjadi preseden negatif terhadap seluruh pembangunan rumah ibadah yang pada akhirnya, seluruh rumah ibadah yang dibangun oleh pemerintah justru dicurigai membawa misi lain yang akan memecah-belah umat. Asumsi ini sangat berbahaya dan pada tahap tertentu justru semakin membangkitkan kecurigaan antarsesama umat Islam, terlebih umat muslim yang ada sejauh ini justru terpolarisasi akibat “politisasi agama” yang semakin hari semakin banyak menimbulkan perpecahan dan intoleransi. Banggalah akan sebuah masjid yang kini bisa menjadi simbol perekat umat, tempat beribadah dan melakukan serangkaian aktivitas keagamaan, jangan terus jadikan masjid sebagai sarana “politisasi agama” yang justru semakin menjauhkan fungsi masjid yang sebenarnya.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun