Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Alasan Menaikkan Harga Rokok Semakin Usang

28 Agustus 2016   10:44 Diperbarui: 28 Agustus 2016   11:26 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wacana menaikkan harga rokok Rp 50 ribu saat ini semakin tidak bisa diterima secara rasional, karena banyak aspek lain yang akan terimbas akibat kenaikan harga rokok dan bahkan bisa lebih banyak menimbulkan dampak sosial yang justru lebih besar. Rasionalisasi kebijakan harga rokok hanya dapat diukur melalui cukainya yang hanya sekitar 8 sampai 11 persen kenaikannya, sehingga harga rokok yang didorong oleh mereka yang punya kepentingan lain dengan asumsi Rp 50 ribu sama saja dengan menaikkan harga cukai rokok 365 persen. Inilah kemudian yang dianggap bahwa menaikkan harga rokok sama saja dengan membuat masalah sosial baru di tengah kondisi masyarakat yang memang sedang susah. Menaikkan harga rokok hanyalah solusi sepihak dan hanya memberikan keuntungan sepihak tidak berdampak bagi kemanfaatan lebih besar terhadap aspek sosial lainnya.

Karena isu menaikkan harga rokok terlihat susah direalisasikan saat ini, wacana rokok mulai bergeser isunya melalui fenomena kebiasaan merokok yang mulai banyak dilakukan anak-anak. Para pegiat anti tembakau sekarang membidik bahaya rokok yang justru didominasi oleh pemula yang masih dalam kondisi dibawah umur. Isu-isu mengenai pendidikan bahaya rokok mereka tekankan agar bisa masuk secara eksplisit kedalam mata pelajaran (mapel) sekolah mulai tingkat dasar agar anak-anak lebih mengerti dengan bahaya rokok yang diketahui sejak dini.

Hal inipun nampaknya ditanggapi biasa-biasa saja oleh Kemendikbud, bahkan Mendikbud yang baru, Muhadjir Effendy, menyarankan agar edukasi masalah bahaya rokok tidak harus masuk mapel secara khusus, tetapi secara implisit bisa dijelaskan melalui mapel yang berhubungan dengan penguatan pendidikan karakter anak. Jika melihat kepada kuatnya dorongan mengenai edukasi bahaya rokok terhadap anak-anak, seakan-akan ada kesengajaan untuk menutupi soal bahaya narkoba yang justru juga telah dikonsumsi juga oleh anak-anak dan sekaligus menggeser bahaya perilaku terorisme dan korupsi yang saat ini justru menjadi dianggap sebagai musuh bersama.

Asumsi saya, agak terlalu berlebihan jika bahaya rokok harus dijadikan sebuah mapel khusus yang diajarkan di sekolah-sekolah, padahal rokok sebetulnya bukan imbas karena kurangnya akses pendidikan secara formal di sekolah tetapi pengaruh dari lingkungan sosial sekitar dimana anak itu tumbuh. Jika pengetahuan mengenai bahaya rokok masuk dalam mapel secara eksplisit, nanti banyak permasalahan-permasalah yang juga seakan-akan harus menjadi mapel khusus, seperti anti korupsi, terorisme, narkoba, bahaya pornografi dan lain-lain. Entah apa yang melatarbelakangi para aktivis anti rokok ini terus berupaya masuk kedalam berbagai jalur resmi dalam negara agar rokok di Indonesia bisa hilang. 

Saya kira, negara akan mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat, bukan memenuhi segelintir kepentingan kelompok atau satu pihak yang hanya menguntungkan mereka. Persoalan mengenai rokok memang harus dikaji lebih dalam mengenai banyak aspek lain yang harus dipertimbangkan keberadaannya agar tidak menimbulkan masalah sosial baru. Negara memang bisa saja “memaksa” untuk suatu kebijakan agar dijalankan masyarakat, tetapi negara juga bukanlah institusi lemah yang tidak berdaya “diatur” oleh hanya segelintir orang dengan kepentingan sepihak.

Bagi saya, persoalan rokok yang sempat menjadi isu paling kuat sejauh ini jangan sampai menggeser isu-isu lain yang justru lebih besar dan lebih berbahaya bagi dampak kerusakan secara sosial, yaitu narkoba, terorisme dan korupsi. Narkoba dalam banyak hal bisa sangat membahayakan dan bahkan mengancam kehidupan dan keberlangsungan generasi manusia kedepannya. Bahkan, Indonesia jelas sudah menerapkan darurat narkoba karena menjadi pusat penjualan narkoba yang paling “aman” dan menguntungkan bagi para bandar narkoba di seluruh dunia.

Banyaknya penjahat narkoba yang tertangkap, tetapi tidak serta merta mengurangi jumlah peredaran narkoba di negeri ini. Yang lebih parah, narkoba tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap negara, tetapi justru merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Narkoba lebih banyak menguntungkan satu pihak apalagi jika narkoba benar-benar menjadi bisnis “yang dilindungi” oleh oknum-oknum aparat sebagaimana nanyian sumir Freddy Budiman sebelum dieksekusi oleh pengadilan.

Soal lain yang mengerikan adalah mereka yang rela menjadi bagian dari kegiatan “terorisme”. Jaringan terorisme sejauh ini justru memanfaatkan generasi-generasi muda yang baru tumbuh dengan disusupi pemahaman-pemahaman keagamaan secara radikal. Ketika seseorang telah menjadi “radikal” maka dengan mudah dia bisa saja mencemari generasi-generasi berikutnya sehingga akan muncul teroris-teroris baru yang lebih kuat dan lebih besar. 

Terorisme menjadi musuh bersama siapapun di negeri ini, bahkan terorisme bisa saja bermetamorfosis menjadi kelompok-kelompok tertentu yang gemar menebar kebencian di masyarakat sehingga akan lebih mudah memicu konflik yang bisa berlangsung dari generasi ke generasi. Saat ini yang sulit diberantas adalah pemikiran yang terbentuk dari akar paham radikalisme bukan aksi terornya sendiri. Persoalan aksi teror mungkin lebih mudah terendus oleh aparat, tetapi paham dan pemikiran radikalisme yang melahirkan gerakan terorisme itu yang sulit diberantas.

Fenomena sosial yang merusak dan sudah menggejala di negeri ini disamping narkoba dan terorisme adalah korupsi. Sebagai sebuah realitas sosial, korupsi bukan lagi menjadi kebiasaan, tetapi sudah menjadi budaya yang terstruktur dalam hirarki sosial kita. Korupsi tidak lagi dilakukan oleh individu tetapi korupsi sekarang ini dilakukan secara “berjamaah” secara kelompok sehingga masing-masing bisa menutupi dirinya sendiri dan kelompoknya. Korupsi yang dilakukan secara kelompok apalagi mendapat “perlindungan” dari aparat justru semakin sulit dihentikan. 

Saya kira, publik lebih mudah menilai tentang isu korupsi yang semakin merusak fondasi kekuatan negeri ini karena dilakukan bersama-sama antara “penguasa” dan “pengusaha”. Rizal Ramli pernah menyebut dua kekuatan ini sebagai “peng-peng” yang justru hadir sebagai “kekuatan tak terlihat” yang ada dalam negara. Kolaborasi antara “peng-peng” yang hanya mengeruk keuntungan pribadi dan mengorbankan kepentingan rakyat merupakan aktor-aktor korupsi yang semakin terorganisir dan ibarat “Tangan Tuhan” mereka terlihat “baik” tetapi justru menggerogoti kekayaan negara. Sungguh sebuah gambaran paradoks di negeri ini para “peng-peng” menebarkan kerakusan dengan bingkai pembangunan atas nama bangsa dan negara.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun