Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Kematian Siyono Sebuah “Tamparan” bagi Kepolisian

12 April 2016   16:58 Diperbarui: 13 April 2016   03:30 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah keberanian yang patut diapresiasi setelah tim independen dari organisasi Islam Muhammadiyah berhasil mengungkap secara terbuka ke publik tentang kasus kematian Siyono dimana kasus kematiannya janggal dan terindikasi ada unsur rekayasa yang dilakukan pihak kepolisian yang dalam hal ini melibatkan Satuan Detasemen Antiteror 88 (Densus 88). 

Hasil otopsi tim relawan independen yang dibentuk Muhammadiyah dalam kasus kematian Siyono justru memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan hasil laporan otopsi yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian. Kepolisian mengklaim bahwa kematian Siyono adalah akibat perlawanan kepada petugas saat ia dijemput dalam sebuah perjalanan sedangkan pihak Muhammadiyah menyatakan terdapat unsur penyiksaan, kekerasan dan intimidasi yang diduga dilakukan sebelum Siyono meninggal dunia.

Sejauh ini, Densus 88 yang dibentuk Polri sejak 2004 sejatinya merupakan tim khusus Polri yang telah banyak berjibaku dalam memberantas aksi-aksi terorisme di Indonesia tetapi nyaris luput dari kritikan publik. Kritik-kritik yang ditujukan kepada tim anti-teror ini sudah lama digulirkan publik  tetapi banyak kritikan yang “bak hilang ditelan bumi”. 

Di sisi lain, evaluasi yang dilakukan internal kepolisian mengenai kinerja Densus88 juga jarang sekali diungkap ke publik sehingga dianggap kurang transparan. Padahal kasus salah tangkap, penyiksaan, intimidasi atau bahkan kematian yang dialami  pelaku-pelaku yang terindikasi memiliki keterkaitan dengan terorisme banyak yang diketahui publik, tetapi hampir tidak ada yang “berani” memperkarakannya kembali secara hukum. Padahal, aksi-aksi yang dilakukan Densus 88 yang cenderung “sepihak” dan terkesan “tertutup” sangat mungkin terdapat pelanggaran HAM di dalamnya.

Sebagaimana diketahui, Siyono merupakan warga Klaten, Jawa Tengah yang tewas seusai dijemput oleh Densus 88 pada Selasa (8/3) dan meninggal dua hari kemudian setelah dinyatakan melakukan perlawanan kepada petugas yang mengawalnya. Menurut klaim dari hasil otopsi pihak kepolisian bahwa kematian Siyono diakibatkan pendarahan dibagian belakang kepala akibat benturan benda tumpul. 

Setelah kematian Siyono, kepolisian kemudian menyerahkan jenazah Siyono kepada keluarganya, setelah sebelumnya pihak keluarga Siyono dipanggil ke Jakarta dan diberikan “uang” dukacita untuk biaya pengurusan pemakaman Siyono dan untuk keluarga yang ditinggalkan. Agak janggal memang, tidak seperti biasanya, kematian Siyono yang begitu cepat dan pihak kepolisian merespon seraya memberikan uang dengan jumlah yang tidak sedikit kepada keluarga Siyono.

Pihak keluarga Siyono yang tidak puas kemudian meminta bantuan Muhammadiyah agar dapat mengungkap secara jelas kematian Siyono yang sejauh ini dinilai pihak keluarga janggal. Pihak Muhammadiyah kemudian melakukan advokasi menggandeng LSM dan Komnas HAM untuk mengungkap secara terang benderang bagaiman sebenarnya kematian Siyono. Pihak Muhammadiyah kemudian segera membentuk tim independen untuk melakukan otopsi terhadap jenazah Siyono agar simpang-siur mengenai sebab kematiannya dapat terungkap secara jelas ke publik.

Tim Independen dari Muhammadiyah yang menggandeng Komnas HAM kemudian  melakukan otopsi terhadap jenazah Siyono pada Minggu (3/4). Hasilnya, justru berbeda  dengan hasil keterangan yang diungkap pihak kepolisian. Keterangan hasil otopsi Siyono yang dibeberkan oleh Komnas HAM menjelaskan bahwa Siyono tidak melakukan perlawanan karena tidak ditemukan luka defensif seusai jenazahnya diotopsi. 

Hal ini berbeda dengan penjelasan pihak kepolisian bahwa Siyono melawan sehingga petugas melakukan tindakan. Informasi awal yang diungkap ke publik oleh pihak kepolisian mengenai upaya perlawanan sebelum Siyono meninggal ternyata ada upaya “rekayasa” untuk menutupi kematian Siyono sebenarnya.

Pihak Komnas HAM juga membantah bahwa kematian Siyono sebagaimana diungkap pihak kepolisian diakibatkan oleh benturan benda tumpul dibagian kepala belakang. Berdasarkan keterangan sembilan orang ahli forensik independen dari Muhammadiyah dan dibantu satu orang ahli forensik dari kepolisian menyimpulkan bahwa kematian Siyono diakibatkan oleh adanya lima tulang rusuk yang patah. 

Anehnya, tim ahli forensik Muhammadiyah menyatakan bahwa jenazah Siyono sebelumnya tidak pernah dilakukan otopsi padahal pihak kepolisian sendiri mengklaim sebab-sebab kematian Siyono dengan jelas ke publik. Jika benar sudah dilakukan otopsi terhadap jenazah Siyono, tentu para ahli forensik juga memberikan keterangan yang tidak berbeda dengan pihak kepolisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun