Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Modernisasi Puasa: Mengabaikan Mitos, Memelihara Etos

9 April 2022   16:02 Diperbarui: 10 April 2022   07:17 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kegiatan buka puasa virtual.| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Watak puasa yang sesungguhnya adalah lebih banyak diam atau mengurangi aktivitas baik individual terlebih sosial demi tujuan-tujuan pendekatan dan penyucian diri kepada Tuhan. 

Puasa lebih bernuansa transenden, melalui suatu keyakinan bahwa ibadah ini memang diinginkan Tuhan (Asshaumi Lii) dan Tuhanlah yang akan menilainya (Wa Ana Ajzi bihi).

Sifat puasa yang transenden mencegah perubahan kesakralannya, sekalipun etos dominan umat Islam--sebagaimana Bellah--adalah "etos duniawi, aktivis, sosial, dan politik". 

Kenyataan ini memungkinkan puasa bertransformasi mengikuti perkembangan zamannya, bukan pada kandungan nilai sakralnya, tetapi pada aspek-aspek sosio-politik yang yang melingkupinya.

Di abad 21 ini, kita melihat aktivitas berpuasa kerap ditandai oleh atau beriringan dengan meningkatnya potensi keekonomian masyarakat, terutama yang kita saksikan di negara-negara Muslim, seperti Indonesia. Bahkan peningkatan pemanfaatan teknologi justru dirasakan ketika umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan ibadah puasa. 

Tayangan-tayangan komersil dan semaraknya kuliner bahkan pernak-pernik yang ditawarkan disaat puasa justru lebih meningkat dibanding ketika umat Muslim tidak berpuasa.

Realitas ini paling tidak membawa suatu pemahaman bahwa modernisasi tetap membawa pengaruh sebagai upaya menggeser mitos seraya memperteguh etos umat Islam sendiri.

Etos duniawi itu barangkali ketika ditunjukkan oleh sebuah riwayat dimana "mereka yang bergembira dengan bulan Ramadhan akan memperoleh balasan surga". 

Sebagian elit sosial seperti para guru agama atau ustadz yang jelas merengguk kegembiraan puasa sebab aspek keekonomian jelas menggembirakan. Dari sisi ini nampak bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara yang sakral dan temporer, sekuler dan religius, duniawi dan ukhrowi, material dan spiritual, sehingga aspek dualitas ini tidak berhenti pada tataran intelektualitas namun tetap hidup dalam ranah aktivitas yang secara keseluruhan membentuk "living Islam". 

Sehingga kita tidak akan kaget dengan berbagai fenomena sekuler ditengah-tengah pelaksanaan ibadah puasa yang "sakral".

Puasa di Indonesia barangkali saat ini berbeda dengan situasi 30 atau 40 tahun yang lalu, terutama dari aspek modernitas yang melingkupinya.

Istilah "modern" jika mengacu pada bahasa Latin "modernus" yang mengacu pada hal-hal yang ada "di sini dan sekarang", maka puasa dulu dengan sekarang jelas menunjukkan perbedaan dengan puasa masa lalu, terutama dari aspek perwujudan sosialitasnya yang terkait dengan perkembangan penggunaan media sosial, meningkatnya minat belajar pengetahuan agama Islam, dan pemanfaatan aspek-aspek teknologi. 

Jadi, diakui maupun tidak, Islam jelas memiliki seperangkat ajaran yang lengkap bahkan selalu bertransformasi membentuk watak ajaran yang "solihun li kulli zaman wa makan" suatu etos yang bersifat dualitas yang jauh dari aspek dogmatisme yang kaku.

Puasa pun nampaknya demikian, suatu ibadah yang menggelorakan aspek transformasi dan reformasi sekaligus, suatu upaya yang terus menerus dalam upaya dialektika antara kontradiksi dan perbedaan maupun kompromi dan penyatuan. 

Namun penting untuk ditegaskan bahwa nilai ibadah puasa dengan praktik ritualnya yang telah menjadi bagian wilayah doktrin syariat yang tak dapat diganggu gugat, bukan berarti menghalangi berbagai aspek perubahan transformasi sosial umat Muslim yang menjalankannya. 

Ibadah ini malah tetap dirindukan oleh para pengagum duniawi, bahkan aspek sekuler justru lebih tampak mewarnai puasa "modern" dibanding nuansa spiritualnya, yang lebih mengedepankan sikap diam, mengurangi aktivitas yang mendorong kemaksiatan dan semacamnya. 

Kita saat ini benar-benar mengalami apa yang disebut sebagai "modernitas" puasa, yang ditunjukkan oleh minat yang sedemikian besar terhadap penggunaan media, kajian pengetahuan agama, nilai-nilai keekonomian, dan keterlibatan aspek kepolitikan. 

Jadi, puasa lebih memiliki citarasa duniawi yang saling bertentangan dengan dimensi ukhrawi dalam realitas kultum yang "dikonversi" menjadi nilai-nilai keekonomian masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun