Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Politik Korona dan Ancaman Kohesi Sosial

30 Maret 2020   08:05 Diperbarui: 30 Maret 2020   08:05 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menjadi kekhawatiran berbagai pihak, di mana saat kebijakan "social distancing" diberlakukan, terlebih diperketat oleh cara-cara represif, seperti pelarangan bersosialisasi di Ramadan dan Idul Fitri, jelas akan memicu resiko baru lainnya yang tidak sekadar meledakkan social unrest, tetapi secara sistemik akan memperluas resiko-resiko sosial lainnya, bahkan mungkin lebih besar dari prediksi sebelumnya.

Sebuah analisis yang dibuat oleh Azyumardi Azra mengenai kebijakan politik ini cukup menarik, sebab ia pun seolah masih meragukan kebijakan lockdown sekalipun kebijakan ini diiringi bantuan insentif untuk membantu masyarakat yang terdampak kebijakan ini. Menurutnya, akan sangat sulit mengimplementasikan dana kompensasi tersebut jika tanpa bantuan berbagai organisasi dan kelompok filantropi yang menjangkau hingga ke lapisan paling bawah masyarakat. "Untuk memelihara kohesi sosial, jaring pengaman sosial perlu menjangkau semua secara berkelanjutan. Jika tidak, social unrest bisa meledak" (Kompas, 26/3/20).

Politik korona, ternyata dalam implementasinya tetap masih menyisakan hal-hal yang pada tahap tertentu mengancam kohesi sosial, terlebih bahwa Indonesia merupakan masyarakat dengan karakteristik "religius" dengan tingkat solidaritas sosial yang sangat tinggi berasal dari semangat keagamaan setiap individunya.

Kebijakan karantina total sejauh ini belum tentu juga menjadi kebijakan efektif dalam menanggulangi suatu resiko karena tetap saja pada akhirnya, akan menimbulkan resiko lainnya yang mungkin saja lebih besar. Sebuah resiko pada umumnya, terkait secara khusus dengan segala hal yang berdampak kerugian, baik yang dihasilkan suatu aktivitas, kegiatan sosial tertentu atau rekayasa teknologi.

Dalam kasus pandemik korona, Indonesia tentu saja dihadapkan pada resiko-resiko sosial yang saling berkait atau bahkan berlawanan. Kebijakan penanganan pandemik ini, tidak hanya terkait secara langsung dengan aspek sanitasi atau kesehatan, tetapi secara sosial-psikologis, berdampak terhadap aspek kohesi sosial yang selama ini telah sangat baik tertata dalam rangkaian tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Belum jelasnya batasan-batasan waktu, kriteria, atau prosedur kebijakan pandemik ini,  dikhawatirkan berdampak lebih jauh terhadap seluruh sistem sosial yang ada.

Perlu juga dipahami, bahwa social unrest tidak selalu terkait dengan maraknya aksi sosial atau demonstrasi massa, sebagai bentuk penolakan atas suatu kebijakan tertentu. Hal-hal yang tidak pernah diprediksi sebelumnya, dapat memicu ledakan social unrest, tanpa harus dihubungkan oleh alasan terjadinya disfungsi sistem sosial. Sesuatu yang tak terduga, bahkan mungkin tak direncanakan, seringkali muncul secara spontan dan tiba-tiba, sehingga hampir tak sempat lagi melakukan pembatasan atau kontrol terhadap suatu sistem sosial (Schroter, et.all 2014).

Dalam konteks kebijakan penanganan wabah covid-19 ini, Indonesia tentu akan lebih banyak berhadapan dengan resiko-resiko tak terduga lainnya dan bahkan yang tak pernah diprediksi sebelumnya, mengingat resiko-resiko tertentu akibat suatu kebijakan akan banyak berbenturan langsung dengan aspek-aspek tradisi dan budaya masyarakatnya.

Sepanjang yang saya amati, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius yang dalam banyak hal, sangat peduli terhap nilai-nilai kohesivitas, seperti nyaman dalam satu kelompoknya, atau gemar berinteraksi dalam kelompok-kelompok aktivitas sosial-keagamaan tertentu karena kedekatan ideologis. Terutama masyarakat Muslim, tentu saja akan lebih terkena dampaknya, jika kebijakan karantina total, justru "memaksa" mereka meninggalkan sama sekali seluruh aktivitas sosial-keagamaannya diganti dengan aktivitas tertentu yang sangat individualistik.

Jika kebijakan yang diberlakukan tanpa mempertimbangkan resiko sosial lainnya, social unrest akan sulit dihindari. Ketidaknyaman sosial ini justru akan mengancam nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan keagamaan pada akhirnya, sebab tingkat terendah dari social unrest dimulai dari "ketidakpuasan komunikasi" (communication of dissatisfaction) yang disebabkan oleh kebijakan yang gagal menjawab aspek kenyamanan, baik secara individual maupun sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun