Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Surat Keterangan Lulus Tidak Identik dengan Ijazah

26 Juni 2019   17:00 Diperbarui: 27 Juni 2019   09:43 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ijazah palsu | sumber: Kompas TV

Kasus dugaan pemalsuan ijazah yang menjerat mantan komedian kawakan Nurul Qomar yang menjabat sebagai rektor salah satu perguruan tinggi swasta di Brebes, Jateng, bagi saya sarat nuansa politik.

Bagaimana tidak, pengangkatan rektor sebagai pemegang jabatan tertinggi di suatu perguruan tinggi tidaklah sembarangan, apalagi hanya bermodalkan surat keterangan lulus (SKL) yang hampir-hampir tak mungkin diajukan sebagai syarat menjadi seorang pimpinan dengan jabatan paling bergengsi di suatu universitas.

Tentu sangat naif, jika mayoritas civitas akademika menyetujui dan mengangkat seorang yang menjadi pimpinan mereka sedangkan kapasitas akademisnya masih sangat belum jelas.

Dalam banyak hal, SKL hanya berlaku sementara dan dalam keadaan yang memaksa, seperti misalnya seorang yang baru lulus SMA lalu mengikuti tes masuk perguruan tinggi pilihannya, boleh menunjukkan SKL karena ijazahnya dipastikan masih dalam proses pengesahan.

Calon mahasiswa tersebut diizinkan mengikuti seleksi dan setelah lulus, seluruh persyaratan legalitas sudah semestinya ditunjukkan kepada pihak berwenang dalam lingkungan perguruan tinggi yang dimaksud.

Tak mungkin rasanya seorang mahasiswa yang telah lulus, tetapi hanya mengandalkan SKL sebagai bentuk legal-formal persyaratan selama dirinya mengenyam bangku perkuliahan.

Hal ini tentu saja sangat sederhana, terlebih seseorang yang didaulat dan diangkat sebagai rektor, seorang pimpinan tertinggi dalam lingkup akademisi.

Adalah hal aneh, jika belakangan, Qomar dijadikan terduga kasus pemalsuan ijazah, padahal sudah beberapa lama ini dirinya menjabat sebagai pimpinan tertinggi universitas. 

Aroma politik tentu saja kental dalam kasus Qomar ini---jika tidak mau disebut ada dugaan iri hati atau hal politis lainnya---jika melihat terbongkarnya kasus dugaan pemalsuan ijazah justru tidak diantisipasi sejak awal.

Hal ini, kerap terjadi tidak hanya dalam lingkungan civitas akademika, namun unsur-unsur politis menyeruak dalam kompetisi yang tidak sehat dalam lingkup birokrasi pemerintahan.

Menarik untuk dicermati, karena sejak 2017 lalu, Kemenristekdikti telah memberhentikan izin operasional 25 perguruan tinggi swasta dan mempertimbangkan 102 diantaranya yang akan terkena sangsi serupa.

Hal ini untuk mengantisipasi maraknya peredaran ijazah palsu yang kerap kali diperjual-belikan oleh oknum-oknum tertentu yang dengan cepat memperoleh keuntungan keekonomian dan disisi lain, mereka yang kebelet suatu jabatan tertentu dengan cara instan jelas juga diuntungkan.

Praktik "simbiosis mutualisma" ini tampaknya belum sepenuhnya lenyap, karena bagaimanapun praktik pemalsuan ijazah ini cukup menggiurkan, karena apapun dapat lebih lancar jika uang yang berbicara.

Dalam kasus yang menjerat Qomar---jika nanti terbukti palsu atau tidak---seharusnya menjadi peringatan bagi setiap perguruan tinggi swasta agar lebih mengedepankan sisi profesionalitas, bukan sekadar mempertimbangkan publik figur yang lebih banyak dikendalikan oleh teori persepsi.

Kita tentu tidak sedang mencurigai Qomar, yang notabene adalah politisi nasional sekaligus komedian kawakan yang dikenal baik oleh masyarakat.

Kita juga tidak sedang menduga-duga, apakah memang benar kualitas akademik Qomar telah layak menduduki jabatan rektor dalam suatu perguruan tinggi, padahal sejauh ini nama komedian yang disandangnya jauh melampaui kepiawannya dalam dunia politik.

Saya justru khawatir, kasus Qomar ini hanyalah sedikit dari sekian kasus yang tidak terungkap ke publik, di mana jabatan rektor seperti "diperjual-belikan" dengan kekuatan unsur-unsur politik atau kekuatan politik uang yang belakangan menelikung hal-hal yang tadinya irasional menjadi tampak rasional. 

Media yang memberitakan kasus inipun, tampaknya tidak menyebut perguruan tinggi apa yang ijazahnya diduga dipalsukan Qomar, hanya menyebut salah satu perguruan tinggi di Jakarta.

Lagi-lagi, menutupi hal ini jelas memiliki daya tawar yang kuat, sebab sebuah nama besar perguruan tinggi dapat saja tercoreng dan terancam dibekukan oleh Kemenristekdikti nantinya.

Kasus yang saat ini menjerat Qomar, mungkin saja berdampak terhadap hal-hal lainnya, khususnya begitu cerobohnya suatu perguruan tinggi yang mengangkat seorang rektor hanya dengan kepercayaan SKL, sebab SKL tentu saja tidak identik dengan ijazah dalam segala hak legalitas-formalnya. 

Di sisi lain, perguruan tinggi yang berani mengeluarkan SKL juga begitu gegabah, jika itu diketahui untuk suatu persyaratan seleksi dalam menempuh jabatan dalam suatu perguruan tinggi.

Namun, tentu saja kecurigaan-kecurigaan itu pada akhirnya akan berakhir disaat pihak berwajib membeberkan bukti yang sebenarnya---tanpa ditututup-tutupi---bahwa kasus ini jelas akan mendorong efek domino tercorengnya kredibilitas suatu perguruan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun