Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syekh Nawawi Banten: Asketisme dan Ideologi Politik

1 April 2019   16:10 Diperbarui: 2 April 2019   09:22 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah teramat banyak tulisan-tulisan mengenai Muhammad Nawawi bin Umar (1813-1897)---selanjutnya disebut Syekh Nawawi Banten---baik dari sisi pemikiran melalui rekonstruksi wacana atas berbagai karyanya yang tersebar dalam beragam disiplin keilmuan: tafsir, fikih, tasawuf, atau tauhid---atau sketsa historis mengenai pemikirannya melalui transmisi keilmuan ulama Timur Tengah, bahkan hingga nasab dan silsilahnya yang kemudian dihubungkan dalam konteks sosial-politik. 

Sekalipun saya belum menemukan penelitian tentang naskah-naskah aslinya dalam disiplin filologis---kecuali tentang kajian tafsirnya "marah labid"---namun, sosok yang dikenal "sayyid al-ulama al-hijaz" ini selalu menjadi figur yang "diperebutkan" sebagai ulama nusantara yang mendunia.

Syekh Nawawi Banten adalah ikon ulama Nusantara abad sembilan belas yang memiliki citra khas tersendiri bagi mereka yang pernah belajar kepadanya, bahkan Scouck Hurgronje pernah beberapa bulan berada di Mekah hanya untuk mengetahui lebih jauh ulama Jawa yang kesohor ini. 

Laporan Snouck bagi saya menarik, terlebih ia waktu itu, merupakan penasihat Belanda untuk urusan-urusan keagamaan di Indonesia sebelum merdeka. Bukan tidak mungkin, latar sosio-politik yang mendorong Snouck bertemu dengan Syekh Nawawi adalah dalam rangka mencari fakta soal koloni Jawa di Mekah---umumnya orang-orang Jawa yang berhaji---sebab, haji berdampak luas terhadap kondisi sosial-politik Nusantara, sehingga pihak Belanda sangat berhati-hati dengan umat Islam.

Tidak seperti dengan ulama lainnya yang sekadarnya bertemu lalu berkorespondensi, Snouck justru melakukan tatap muka langsung dengan Syekh Nawawi dan banyak berdiskusi soal keagamaan, sosial dan politik, khususnya terkait perkembangan Islam di Nusantara. 

Dalam bukunya, "Mecca in the Latter Part of the 19th Century" yang dikutip Karel Steenbrink, Snouck memberikan deskripsi yang begitu lengkap dan jujur mengenai sosok ulama Jawa yang kharismatis ini. 

Kesannya sebagai seorang asketik, diungkapkan Snouck ketika menilai Syekh Nawawi dari caranya ia memperlakukan dirinya sendiri. "Nawawi adalah contoh hidup untuk menunjuk kesulitan yang dialami orang Jawa", ini merupakan kesan Snouck yang mendeskripsikan begitu sangat sederhananya seorang ulama besar yang sedemikian dihormati, baik di Hijaz terlebih di negerinya sendiri.

Sudah menjadi hal yang teramat lumrah, bahwa pribadi ulama kebanyakan asketis, bukan hanya karena nilai-nilai keislaman yang sedemikian hidup dalam batinnya tetapi juga bagian dari replika keteladanan ulama ortodoks di abad-abad pertengahan. 

Guru-guru Syekh Nawawi tentu saja para ulama asketis: Yusuf Sumulaweni, an-Nahrawi, serta Abdul Hamid ad-Daghastani yang kesemuanya berasal dari Mesir disamping ulama Nusantara lainnya, seperti Khatib Sambas dan Abdul Ghani Bima.

Salah satu bukti bahwa nilai asketis itu "hidup" dalam diri Syekh Nawawi sebagaimana deskripsi Snouck yang menyebutkan, "jelas sekali, bahwa keistimewaan ulama kita ini terletak pada kekuatan penanya bukan lidahnya. Dia menyadari kekurang tertibannya dalam bahasa lisan, sehingga dia sendiri tidak mementingkan pakaiannya. Badannya ditutup oleh dengan pakaian yang kehilangan warna, dengan 'kain keringat' di atas kepalanya. Badannya yang terbengkok memperlihatkan orang lebih kecil dari kenyataannya".

Ciri khas dari orang Islam Indonesia adalah kesederhanaan dan kebersahajaan, bahkan hampir-hampir orang Indonesia yang pada waktu itu pergi haji bukanlah semata-mata karena kemampuan dirinya berhaji, tetapi karena memang keyakinannya atas rahmat Allah yang senantiasa memberkati. 

Hal inilah yang juga kemudian tetap menjadi nilai-nilai abadi bagi "kesederhanaan" Syekh Nawawi sekalipun ia tinggal di Mekah selama kurang lebih 30 tahun. Nilai asketisme atau "kesederhanaan" itu tetap melekat. Pernah Snouck bertanya kepadanya, kenapa ia tidak bersedia mengajar di Masjid al-Haram, ia menjawab secara diplomatis, "kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup mumpuni untuk hal itu".

Sebagai seorang anak dari Penghulu kecamatan dari Tanara, Banten, Syekh Nawawi seolah tidak berkeinginan untuk menggantikan kedudukan ayahnya, Umar bin Arabi. Sepulang dari Mekah setelah tiga tahun tinggal disana ketika haji bersama kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, Nawawi tampak kurang kerasan di Banten dan kembali ke Mekah untuk berbagai alasan. 

Sekalipun Syekh Nawawi tidak tertarik dengan urusan-urusan politik, namun kekuasaan orang-orang Eropa di tanah kelahirannya tetap menjadi bagian kritiknya kepada aspek penjajahan dan mustahil dia mengikuti jejaknya ayah dan adiknya yang keduanya menjadi penghulu yang diangkat oleh pemerintah-kafir Belanda. 

Snouck mendeskripsikan, bahwa "orang ini cukup senang dengan kesulitan yang dialami pihak Belanda dan tidak menyetujui bahwa daerah Jawa harus diperintah oleh orang Eropa".

Apa yang saya maksud sebagai suatu "ideologi politik" tampaknya telah tertanam dalam benak Syekh Nawawi dalam hal penolakannya atas kekuasaan politik yang dikuasai orang "kafir". 

Sekalipun dirinya tampak enggan menghendaki peran politik sekaligus menghindari siapapun yang meminta nasehat "politik" kepadanya, namun banyak kekecewaannya yang ditunjukkan melalui sikap pribadinya dalam rentang pertemuannya dengan Snouck selama berada di Mekah. 

Mungkin dapat sedikit mengungkap, bagaimana ideologi politiknya itu kemudian dituangkan dalam karya tafsirnya yang monumental, "Marah Labid fi Kasyfi Ma'ani al-Quran al-Majid" yang diterbitkan di Mekah pada 1880-an. 

Suatu karya tafsir orisinil ulama Nusantara yang menginduk pada corak pemikiran ortodoksi belum terpengaruh atas respon modernisasi yang dipelopri Muhammad Abduh beberapa tahun setelahnya.

Menarik ketika Syekh Nawawi menafsirkan surat an-Nisa ayat 59: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu". Kalimat "ulil amri" yang seringkali dikonotasikan terhadap suatu kekuasaan politik, diuraikan secara historis dan aplogetis oleh Syekh Nawawi, merujuk pada suasana historis (asbab an-nuzul) pada waktu diturunkannya ayat tersebut. 

Sebagai mufassir yang "patuh" terhadap metodologi yang dikembangkan ulama-ulama ortodoks, Syekh Nawawi mengurai terlebih dahulu fakta historis yang merujuk pada hadis-hadis yang tentu saja diambil dari karya-karya ulama tafsir yang masyhur, sebelum ia mengungkapkan alasan pribadinya yang dapat memperjelas pendapatnya soal apa itu "kekuasaan politik".

Dalam tafsirnya, ayat 59 surat an-Nisa diatas, disebutkan terdapat suasana historis dimana konteks ayat itu terkait tentang Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi dan Khalid bin Walid yang diutus Rasulullah menjadi gubernur di Suriah---keduanya berdasarkan dari riwayat yang berbeda, dimana yang pertama dari Sa'id bin Zubair dan kedua dari Ibnu Abbas. 

Maka---menurut asumsi Syekh Nawawi---ayat ini khusus ketaatan hanya kepada para penguasa politik dalam konteks mereka yang menjadi pemimpin di Syiria waktu itu. Namun, sebagian ulama berpendapat, bahwa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya adalah "mutlak" (wajibatan qath'an), termasuk didalamnya taat kepada hasil konsensus (ijma') ulama.

Syekh Nawawi dalam menjelaskan kata "ulil amri" menyebut bahwa mereka adalah para penguasa---termasuk sultan---seringkali melanggar kehormatannya karena cenderung memerintah dengan cara yang zalim. 

Maka, kewajiban taat kepada para penguasa lebih banyak didasari oleh ketidakberdayaan (adz-dzan ad-dha'if) kita, sekalipun bahwa ketaatan mereka sangat erat dengan kesepakatan para ulama yang melegitimasi mereka melalui fatwa keagamaannya. Ketaatan kepada penguasa sekadar "perpanjangan tangan" para ulama yang melegitimasi mereka, bukan pada ketaatannya secara mutlak kepada "ulil amri" secara mandiri.

Tampak dalam hal ini, bahwa Syekh Nawawi bersikap defensif-apologetis, terutama ketika harus membicarakan sesuatu yang memiliki konsekuensi politis. Bukan tidak mungkin, bahwa alam pemikirannya terpengaruh oleh suasana Nusantara yang memang sedang dikuasai oleh suatu kekuatan politik.

Mereka mengangkat dan menunjuk para ulama-ulama lokal secara resmi sebagai pegawai pemerintah dan berfungsi sebagai "kepanjangan tangan" Belanda dalam hal urusan-urusan keagamaan. Ia menganggap bahwa para penguasa tentu saja mendapatkan "legitimasi" para ulama---dengan tidak mengabaikan peran mereka didalamnya---sehingga kepatuhan rakyat kepada "ulil amri" adalah kepada ulamanya, bukan kepada wujud penguasanya.

Pengaruh tradisi politik Sunni, tentu saja erat kaitannya dengan suasana perkembangan politik waktu itu, dimana kekhalifahan Turki Utsmani yang Sunni sedang tegak berdiri. Doktrin politik Sunni menyebutkan---sebagaimana ditulis Ignaz Goldziher dalam "Pengantar Teologi dan Hukum Islam"---bahwa khalifah (pemimpin) ada untuk menjamin dilaksanakannya kewajiban-kewajiban Islam. 

Selain itu, dalam tradisi Sunni, khalifah tidak mempunyai wewenang untuk memberikan petunjuk-petunjuk kerohanian. Hal inilah yang kemudian mewarnai ideologi politik Syekh Nawawi yang menempatkan "ulil amri" sekadar perwujudan atas legitimasi ulama, dimana konteks ketaatan hanyalah kepada ulamanya, bukan kepada penguasanya.

Saya kira, masih banyak pengaruh dan latar belakang seseorang ketika menafsirkan Alquran sehingga hal ini tentu saja harus disertai semangat mendalam untuk mengungkap lebih jauh, bagaimana Syekh Nawawi dalam berbagai karyanya dipengaruhi oleh pijakan ideologi politik tertentu. 

Sekalipun saya meyakini, Syekh Nawawi tentu saja bukan sosok yang memiliki ketertarikan terhadap dunia politik terlebih harus berperan atau mewarnai berbagai konteks kepolitikan dengan realitas keilmuannya untuk Nusantara waktu itu. 

Namun paling tidak, kecenderungan terhadap ideologi politik tertentu---dalam hal ini Sunni---terkesan kuat melatarbelakangi dirinya ketika bersentuhan dengan ayat-ayat yang bernuansa politis. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun