Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tak Ada Pertentangan Antara ke-Islaman dan ke-Indonesiaan

7 Mei 2017   21:36 Diperbarui: 7 Mei 2017   22:10 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi polarisasi masyarakat Indonesia pasca Pilkada DKI 2017 seringkali menjadi bahan perbincangan publik, tidak hanya sebatas pada soal “obrolan pinggiran” atau talkshow di televisi, tetapi sudah menjadi perhatian luas, dimana diskusi menyoal ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang seakan dipertentangkan digelar secara resmi di level kenegaraan. 

Bertempat di Gedung MPR RI, seminar yang bertemakan “Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan Aktualisasi Pemikiran dan Kejuangan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari”, paling tidak dapat membuka cakrawala pemikiran kita bahwa tidak ada pertentangan sedikitpun soal ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang sejauh ini justru dalam prakteknya seringkali diartikulasikan secara berbeda. Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari justru merupakan tokoh perjuangan yang senantiasa menjaga harmonisasi secara teguh antara ke-Islaman dan ke-Indonesiaan sehingga pemikiran dan aksi-nya menjadi tetap relevan dan bahkan aktual dalam membaca polarisasi masyarakat Indonesia belakangan ini.

Kita memang harus mengakui, bahwa Pilkada Jakarta telah menjadi semacam entry point yang secara gamblang memperlihatkan polarisasi yang tajam antara kelompok pendukung Basuki-Djarot dan Anies-Sandi yang tidak pernah selesai, walaupun gelaran pilkada itu telah usai. Secara garis besar, polarisasi ini secara tajam sangat bertentangan satu sama lainnya, dimana seakan-akan para pendukung Basuki-Djarot adalah mereka yang cinta NKRI, pendukung kebhinekaan yang berpaham kebangsaan. 

Sedangkan disisi lain, para pendukung Anies-Sandi kemudian seakan-akan diposisikan sebagai kelompok anti-NKRI, anti-kebhinekaan karena berpaham “keagamaan” dan mengenyampingkan nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan. Banyak pihak menilai, polarisasi ini jelas sangat mengganggu harmonisasi kehidupan kebangsaan, terutama jika terus dibiarkan, jelas akan berpengaruh terhadap bangunan negara-bangsa yang selama ini dirajut dalam bingkai kedamaian, persatuan dan juga kesatuan.

Cucu Hadratus Syekh, Solahudin Wahid (Gus Solah) yang didaulat untuk memberikan sambutan pada kegiatan seminar tersebut, menjelaskan soal polarisasi masyarakat yang justru semakin tajam pasca Pilkada Jakarta ini. Bagi Gus Solah, para pendukung Basuki-Djarot maupun Anies-Sandi sepertinya sedang dalam pusaran konflik, memainkan tema “keislaman” dan “keindonesiaan” dimana dari kedua kelompok itu muncul pertentangan secara diametral antara mereka yang merasa paling Indonesia dan disisi lain justru merasa paling Islam. 

Polarisasi ini jelas berujung pada sebuah konflik yang tidak hanya mempertentangkan isu ini antara sesama umat beragama, tetapi konflik muncul dan terbuka antar kelompok seagama, akibat mereka merasa paling “islam” diantara kelompok agamanya karena berasumsi tidak memilih pemimpin non-muslim. Gus Solah justru menawarkan solusi, agar ketika terjadi setiap perbedaan tidak diucapkan atau di-umbar kehadapan publik, namun cukup dirasakan dalam hati bagi diri sendiri, tanpa harus diartikulasikan, terlebih dipergunakan untuk menghakimi orang lain

Membongkar kembali aktualisasi pemikiran Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari soal bagaimana ke-Islaman dan ke-Indonesiaan ini saling bersinergi justru mempunyai nilai tersendiri bagi bangsa ini agar mau menguak sejarah perjuangan kemerdekaan dan menjadikannya sebagai landasan berpijak bangsa ini dalam mengisi perjalanan kemerdekaan.

 Sosok KH Hasyim Asy’ari yang menjadi panutan masyarakat justru mampu mendudukkan secara berimbang antara keislaman dan keindonesiaan, dimana semangat keagamaan mampu memompa semangat perjuangan bangsa ini untuk melawan kesewenang-wenangan kolonialisme. Bukti nyata dari buah pemikiran dan aktualisasi keislaman Hadratus Syekh justru berhasil bersinergi dengan paham kebangsaan bahkan tanpa harus ada pertentangan sama sekali.

Semangat keagamaan dalam bentuk perintah “resolusi kebangsaan” yang digagas Hasratus Syekh tidak hanya menginspirasi kelompok Islam (santri) tetapi juga berpengaruh secara luas terhadap seluruh elemen masyarakat lainnya untuk bersatu padu melawan kolonialisme asing. Membela negara berarti sama dengan membela agama, karena jika negara ini hancur dan dikuasai kepentingan asing, jelas seluruh kehidupan bermasyarakat—termasuk keagamaan—akan mengalami tekanan dan gangguan yang luar biasa. 

Asumsi saya, keliru jika ada sementara kelompok yang merasa melakukan “bela agama” tetapi justru mempertentangkan kebhinekaan dan lebih jauh kebangsaan bahkan ke-Indonesiaan. Semangat yang digelorakan melalui aksi-aksi buah pikiran Hadratus Syekh pada masa-masa kemerdekaan, justru berpijak pada konsep “hubb al wathan min al-iman” (kecintaan kepada tanah air adalah bagian dari keimanan).

Salah satu buah pikiran yang cukup penting dalam melihat bagaimana konsepsi keislaman dan keindonesiaan tidak bertentangan adalah ketika Hadratus Syekh menyatakan bahwa pemerintahan Kolonial Belanda adalah dar al-islam (wilayah Islam) yang wajib dipertahankan. Pendapat Hadratus Syekh muncul ketika ada pertanyaan pada acara Muktamar NU di Banjarmasin pada 1936.

 Bagi Hadratus Syekh, bahwa penegasan sebagai dar al-Islam dalam pemerintahan kolonial didasarkan atas adanya kebebasan menjalankan agama yang dijamin oleh pemerintah. Padahal, dalam kesadaran politik muslim justru terpatri bahwa pemerintah Belanda adalah kaum kafir. Disinilah saya kira, pentingnya untuk melihat lebih jernih, bagaimana seharusnya konsep keislaman dan kebangsaan pada konteks kekinian juga tidak seharusnya dipertentangkan, terlebih bahwa kita sudah tidak lagi berada dalam kondisi penguasaan atas kekuatan kolonialisme.

Hadratus Syekh seakan sedang mendamaikan antara Islam dan kolonialisme kafir secara kreatif, tanpa harus mempertentangkan atau menafikan salah satunya. Menegaskan Indonesia walaupun dibawah penguasaan kolonialisme dengan dar al-Islam, memiliki implikasi yang sangat jauh, bukan saja menumbuhkan semangat ke-Islaman diantara sesama umat muslim, tetapi disisi lain menumbuhkan gairah ke-Indonesiaan sebagai bentuk kecintaan yang tinggi kepada Ibu Pertiwi. 

Hal ini terbukti, ketika kemudian Jepang datang menyerang Belanda, maka bangsa Indonesia tidak membantu pemerintah kolonial untuk melawan Jepang, tetapi bangsa ini terus menyusun strategi agar bisa lepas dari jerat kolonialisme bangsa asing. Sikap akomodatif Hadratus Syekh terhadap pemerintahan Jepang tetap dijaga dengan asumsi yang kurang lebih sama, selama umat muslim masih bebas menjalankan kegiatan ibadah keagamaannya.

Saya kira, perlu ditegaskan bahwa tak ada pertentangan sama sekali antara ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang selama ini justru seakan memperlihatkan dua kutub yang saling berseberangan. Kita tentu perlu belajar dari konsepsi pemikiran Hadratus Syekh yang sangat relevan belakangan ini, bahwa pertentangan soal isu-isu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan perlu didamaikan secara kreatif,

 tanpa harus menafikan salah satu diantara keduanya. Islam, sebagai agama tentu memiliki seperangkat ajaran yang sangat menjunjung tinggi kecintaan kepada tanah air, bagaimana seharusnya mempertahankannya, menjaganya dan juga merawatnya.

Mempertentangkannya dengan kebangsaan atau ke-Indonesiaan sama halnya dengan mempertentangkan ajaran agama itu sendiri. Jika ada segelintir pihak yang berasumsi bahwa Islam justu intoleran dan anti-kebhinekaan, sungguh sebuah kesimpulan yang keliru, karena Islam sesungguhnya menganut ajaran kecintaan kepada tanah air.

 Begitupun sebaliknya, ketika ada segelintir kaum muslim yang mempertentangkan sikap kebhinekaan dan kebangsaan sebagai anti-agama terlebih dianggap sebagai kelompok sekuler yang anti-Islam justru kesimpulan yang terlampau jauh, jika tidak disebut mengada-ada. Ke-Islaman dan ke-Indonesiaan seharusnya bersinergi, saling mengisi dan memperkuat karena tidak ada pertentangan sama sekali, baik dipandang secara konsepsi maupun dalam ranah praksis sosial-politiknya.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun