Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Golput Adalah Pilihan Politik

4 Maret 2017   15:30 Diperbarui: 11 Agustus 2018   13:05 3616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/KRIS R MADA)

Tidak semua tipologi masyarakat urban memiliki kesamaan rata-rata pendidikan atau penghasilan, sehingga fokus untuk peningkatan taraf hidup dalam masyarakat urban, bisa saja membuat mereka apatis terhadap aktivitas politik.

Lalu, timbul pertanyaan, mengapa ada orang yang bersikap pasif terhadap aktivitas politik? Padahal, aktivitas politik berkait erat dengan soal pengaruh terhadap kepemimpinan dan akan berimbas langsung terhadap seluruh pelaksanaan kebijakan pemerintah. 

Mereka yang acuh atau tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik biasanya disebut dengan apati (apathy) yang umumnya mereka memang tidak peduli atau tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan memberikan suaranya tidak akan pernah berhasil. 

Saya kira, persoalan apatisme politik yang ada dalam sebuah masyarakat tidak harus dirisaukan sebagai bagian ketidakberhasilan pemerintah dalam membangun sebuah sistem yang demokratis. 

Dalam banyak hal, sikap apatis terhadap politik bisa bermakna positif sepanjang bertujuan untuk fleksibilitas sistem politik. Terlebih, bahwa kegiatan partisipasi politik warga yang terlampau “aktif” justru bisa saja berdampak negatif, karena bisa jadi akan menimbulkan pertikaian yang berlebihan, fragmentasi bahkan instabilitas sosial.

Saya kira, dibeberapa negara yang lebih demokratis sekalipun, fenomena golput itu menjadi bagian dari pilihan politik mereka. Mereka menganggap, bahwa tidak ikut memilih tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan suatu keadaan, sehingga seseorang tidak perlu untuk kemudian memanfaatkan hak pilihnya.

Mereka yang golput justru percaya dan yakin bahwa sistem politik atau kepemimpinan yang saat ini ada sudah cukup baik dan memuaskan bagi mereka. Saya kira, di negara-negara Eropa Barat atau Amerika, pasrtisipasi politik paling banter hanya berkisar 50-60 persen, lebih banyak golput-nya daripada mereka yang “aktif” dalam partisipasi politik. Indonesia, saya kira, jelas merupakan negara yang partisipasi politik masyarakatnya cukup tinggi, bahkan melebihi batas jumlah rasio tingkat partisipasi politik yang baik dalam sebuah sistem demokratis.

Namun demikian, partisipasi politik yang tinggi bukan pula jaminan sebuah negara itu indikator demokratisasinya meningkat dengan baik. Namun yang jelas, bahwa setiap usaha to get out the vote terutama jika melihat persentase golput mengalami peningkatan, seperti di Pilkada Jakarta, tentunya harus terus diupayakan agar ikut serta dalam aktivitas politik, minimal ikut serta dalam memberikan suaranya pada saat Pilkada. 

Pilkada, selain sebagai sarana untuk memilih pemimpin juga bisa menjadi bagian dari peningkatan pendidikan politik masyarakat. Selain itu, benih-benih demokrasi yang sejauh ini mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia, justru harus diperkuat oleh tingkat pendidikan politik masyarakat secara lebih baik. 

Memberikan suaranya pada saat pemilu, justru akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah secara lebih luas, jika suara-suara para pemilih berjumlah banyak, karena suara setiap individu tidak pernah akan berarti apa-apa, kecuali ketika diakumulasikan sehingga memenangkan salah satu kontestan. Kepada merekalah—para kontestan—yang menang pada akhirnya, kita titipkan “pengeras suara” agar selalu mendengar setiap aspirasi masyarakat yang disampaikannya.

Wallahu a’lam bisswahab    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun