Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antar Anak Sekolah atau Berangkat Sendiri, Mana Lebih Mandiri?

19 Juli 2016   09:35 Diperbarui: 20 Juli 2016   11:38 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Moneter.co.id

Mungkin generasi saya saat ini, pernah merasakan bahwa dulu sewaktu sekolah selalu sendiri meskipun jarak sekolah yang cukup jauh dari rumah tetap ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Sejak masuk Sekolah Dasar (SD), orang tua hanya menemani pada saat proses pendaftaran dan administrasi lainnya berlangsung, setelah itu nyaris selalu berangkat sekolah sendiri tanpa pernah didampingi atau diantar orang tua. 

Kondisi perjalanan menuju sekolah yang cukup jauh sekalipun tidak membuat orang tua kita khawatir, meskipun tanpa berbekal alat komunikasi apapun, kita tetap yakin dan percaya bahwa bersekolah akan mengantarkan kita menjadi manusia yang lebih mengenal peradaban. 

Anak-anak generasi terdahulu hanya berangkat sekolah dengan modal keyakinan dan ketulusan sehingga kehidupannya di masa kini tampak lebih mandiri dibanding anak-anak lainnya yang lahir belakangan. Pesan kemandirian yang ditanamkan orang tua kita kepada anak-anaknya sukses membuat generasi kita saat ini lebih kuat, lebih kreatif dan lebih tahan banting dibanding generasi anak-anak kita sekarang.

Entah ada hubungannya atau tidak, jika kemudian ada upaya pemerintah yang dipelopori oleh kementrian bidang pendidikan dalam menggagas bahkan mewajibkan gerakan mengantar anak ke sekolah di hari pertama bagi para orang tua dengan kemajuan peradaban manusia. 

Jika dilihat dari esensi kepentingannya secara kultural, mungkin tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap kemandirian anak, bahkan justru cenderung membentuk pribadi anak semakin manja dan ketergantungan dalam hidupnya. 

Hari Senin kemarin, begitu banyak orang tua yang mengantar anaknya sekolah di hari pertama, sampai-sampai para orang tua rela tidak melakukan rutinitas pekerjaannya terlebih dahulu demi partisipasi sebuah gerakan: mengantarkan anak ke sekolah. Padahal, saya juga dulu pernah merasa sebagai anak sekolah, tetapi orang tua kita malah enggan mengantarkan anaknya dengan alasan biar anak bisa lebih mandiri hidupnya. 


Lalu apakah gerakan orang tua yang tidak mengantarkan anak sekolah disaat dulu, justru menjadi beban bagi generasi saat ini? Saya pikir, tanpa melalui gerakan, orang tua kita dulu tetap mewariskan tradisi kemandirian kepada generasi-generasi berikutnya, bahkan sukses membangun sebuah peradaban kemanusiaan yang bermental lebih hebat dan siap berjuang dalam masyarakat.

Kenyataannya, anak-anak yang hidup pada “zaman dahulu” terlihat lebih cerdas, mandiri, kreatif dan pada tahap tertentu lebih banyak yang berhasil dalam banyak hal dan menjadi orang-orang sukses di lingkungan masyarakatnya. Padahal, kesuksesan dan keberhasilan mereka tidak pernah didukung oleh keterlibatan orang tua dalam mengantarnya ke sekolah atau bahkan disekolahkan ke sekolah terbaik di tempatnya. 

Orang-orang tua kita dahulu justru lebih banyak mengajarkan kemandirian kepada anak-anaknya bukan mengajarkan kecengengan apalagi kemanjaan. Dan lihat saja hasilnya, produk-produk pendidikan zaman dulu yang tanpa melibatkan gerakan mengantar anak sekolah oleh orang tuanya, justru lebih banyak melahirkan generasi cerdas, sukses, mandiri dan bermanfaat untuk masyarakat. Lucunya, para pejabat pemerintah kita sendiri pun dahulunya adalah produk-produk anak yang tidak mengalami diantar oleh orang tuanya ke sekolah, tetapi bersekolah sendiri.

Saat ini memang, agak susah membentuk kemandirian seorang anak karena seluruh orang tua sudah disodori berbagai macam fasilitas yang dibuat semakin memudahkan dan instan. Padahal, sebuah kemandirian yang ditanamkan kepada anak sejak usia dini, tentunya akan memberikan dampak pada generasi-generasi berikutnya yang lebih kuat dan lebih mandiri. 

Layaknya sebuah pesan, kemandirian yang ditanamkan kepada anak juga harus dimulai sejak dini ketika seorang anak bersosialisasi pertama kali dengan lingkungan di luar rumahnya, yaitu sekolah. Sekolah yang menjadi tempat pembangunan karakter kecerdasan seseorang harus berproses dengan memberi dan menerima dengan lingkungan sekitarnya. Lalu bagaimana jika anak-anak masa kini terkesan sangat dimanjakan oleh orang tuanya? 

Untuk mengembangkan sebuah kecerdasan yang akan memupuk kesuksesan seseorang memang tidak berasal dari unsur bawaan (nature) atau hasil binaan (nurture), gen atau lingkungan. Tetapi kecerdasan akan tumbuh berdasarkan interaksi antara diri dan lingkungannya. Jika lingkungan memberikan pesan kemanjaan kepada anak, tentu mereka akan tumbuh menjadi generasi-genarasi yang membina ketergantungan bukan generasi yang cerdas dan mampu mengembangkan kemandirian.

Bersikap mandiri adalah hal yang penting dalam mengarungi seluk beluk kehidupan manusia. Seorang anak akan tumbuh dewasa dan terus menerus berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga akan terjadi relasi kompetitif antarindividu dalam lingkungannya. 

Bagian terpenting dalam menjadikan seseorang anak menjadi mandiri adalah bagaimana setiap orang tua mampu mengarahkan dan memberikan jawaban-jawaban mendidik atas pertanyaan-pertanyaan anak sehingga mampu menumbuhkembangkan kemandiriannya dalam hidup. 

Orang tua seringkali tidak sadar memberikan jawaban-jawaban yang memuji anaknya, padahal pujian justru membuat si anak tidak mandiri. Anak-anak memang paling suka dipuji, tapi buatlah jawaban-jawaban yang lebih mengarahkan agar si anak lebih mandiri, bukan memanjakan keadaan dirinya. Ajaklah anak-anak untuk selalu memperoleh yang lebih baik bukan cukup dari apa yang sudah ada.

Tumbuhkembang karakter anak adalah tergantung orang tuanya. Anak-anak ibarat pohon dan tumbuhan yang kita tanam, kita pelihara, kita pupuk, kita jaga, sehingga suatu saat nanti orang tua lah yang akan memanen hasilnya. 

Hasil panen akan tergantung dari seberapa serius kita menjaga dan memelihara pohon itu dari benalu-benalu atau hama lain yang merusak dirinya. Sehingga yang kita perlukan sebenarnya adalah gerakan orang tua mendidik anak dalam keluarga bukan mengantar anak ke sekolah. 

Meskipun pendidikan anak merupakan masalah pribadi orang tua masing-masing, tetapi pemerintah dapat memberikan edukasi kepada masyarakat pentingnya sebuah keluarga dalam membangun karakter anak-anaknya. Setiap orang tua harus disadarkan akan pentingnya pendidikan, baik yang dilakukan secara formal maupun non-formal. 

Seharusnya bukan gerakan mengantar anak ke sekolahnya yang penting, tetapi bagaimana para orang tua sadar akan pentingnya pendidikan untuk generasi berikutnya. Hal ini tentunya, harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, seperti memberikan pendidikan yang memadai dan terjangkau oleh setiap keluarga dalam masyarakat.

Justru saat ini yang seakan hilang adalah “gerakan ayo sekolah” yang dulu sempat menjadi iklan layanan masyarakat dan mampu menyadarkan banyak orang akan pentingnya pendidikan. Sekolah yang seharusnya menjadi kewajiban setiap individu telah bergeser menjadi beban berat bagi setiap orang. 

Dalam hal pendidikan, Indonesia saat ini sudah jauh tertinggal dengan Korea Selatan, padahal pada 1990-an Korea Selatan masih berada di bawah Indonesia tingkat “melek” pendidikannya. Korea Selatan saat ini masuk dalam peringkat 2 dari 10 sistem pendidikan terbaik di dunia. Ini berarti ada political will dari pemerintah setempat dimana memberikan pendidikan yang baik adalah kunci dalam membangun peradaban yang lebih baik. Dalam hal pendidikan, Indonesia sudah semakin jauh tertinggal dari negara-negara berkembang lainnya. 

Masihkah penting menggaungkan “gerakan mengantar anak ke sekolah” atau “gerakan ayo sekolah”?   

Wallahu a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun