Kasus yang menimpa Yai Mim dan Sahara sesungguhnya bukan sekadar peristiwa viral. Ia menggambarkan betapa rapuhnya tatanan sosial di masyarakat ketika konflik antarwarga gagal diselesaikan di tingkat paling dasar: tetangga. Dalam wawancara bersama Rasis Infotainment, praktisi hukum Deoliva Yumara menyoroti perkara ini dari sudut pandang hukum sekaligus sosial. Ia melihat, apa yang awalnya hanya persoalan lahan parkir dapat menjelma menjadi kasus hukum yang berlapis---menyentuh ranah pencemaran nama baik, akses ilegal data pribadi, hingga kemungkinan pelanggaran Undang-Undang ITE.
Dari Konflik Tetangga ke Konflik Publik
Deoliva memulai dengan premis sederhana: "Jangan bicara dulu soal tanah, bicara dulu soal tetangga." Ia mengingatkan bahwa hampir di setiap rukun tetangga di Indonesia, potensi gesekan selalu ada---entah karena parkir, batas lahan, kebersihan, atau kebisingan. Konflik semacam itu biasanya selesai dengan mediasi oleh ketua RT atau RW. Namun dalam kasus Yai Mim dan Sahara, proses penyelesaian gagal. Alih-alih damai, ketegangan justru dibawa ke ruang publik melalui media sosial.
Ketika media sosial menjadi arena baru bagi konflik personal, hukum pun ikut campur. "Begitu ada unsur pencemaran nama baik, sudah bisa jadi pidana," tegas Deoliva. Ia menekankan bahwa banyak konflik sosial yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan justru membesar karena diliputi ego dan kepentingan pihak-pihak yang merasa benar sendiri.
Restorative Justice: Jalan Damai yang Terlupakan
Dalam pandangan Deoliva, mekanisme restorative justice mestinya menjadi langkah pertama ketika kasus sudah menyentuh aparat hukum. Prinsip ini bertujuan untuk mempertemukan kedua pihak agar berdamai dan saling memaafkan tanpa memperpanjang proses pidana.
"Kalau satu mau damai dan satu sudah minta maaf, ya sudah selesai sebenarnya," ujarnya. Namun dalam realitas, niat baik sering tenggelam oleh dorongan emosi dan tekanan publik. Ketika konflik sudah kadung viral, masing-masing pihak terdorong mempertahankan citra diri, bukan kebenaran.
Hukum Siber dan Pelanggaran Privasi
Kasus ini menjadi lebih rumit ketika muncul tudingan bahwa konten pribadi dan video milik salah satu pihak disebarluaskan tanpa izin. Deoliva menjelaskan dengan lugas: tindakan mengakses, memindahkan, atau menyebarkan data pribadi dari perangkat orang lain tanpa izin merupakan pelanggaran hukum.
Dalam kerangka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hal tersebut termasuk "akses ilegal terhadap sistem elektronik" dan dapat dijerat dengan pasal pidana. Selain itu, penyebaran video pribadi juga masuk dalam kategori pencemaran nama baik dan pelanggaran privasi.
Dengan kata lain, ketika persoalan personal sudah menyentuh dunia digital, konsekuensinya tidak lagi sekadar sosial, tetapi yuridis. Di sinilah batas antara etika bermedia dan kejahatan digital menjadi kabur.
Ketika Emosi Menyingkirkan Rasionalitas
Deoliva juga menyinggung sisi psikologis masyarakat dalam menyikapi konflik semacam ini. Ia menilai, publik sering kali cepat termakan narasi yang beredar di media sosial tanpa menimbang bukti yang sahih. "Kita mudah termakan hasutan," katanya, mengingatkan bahwa dalam kasus ini, opini publik sempat memihak salah satu pihak tanpa menunggu proses pembuktian di pengadilan.
Situasi kian pelik ketika tokoh-tokoh masyarakat ikut terseret. Bahkan pemerintah daerah, termasuk gubernur, merasa perlu turun tangan untuk menengahi. Namun, menurut Deoliva, ketika kasus sudah masuk proses hukum, kewenangan mediasi publik berhenti di situ. "Kalau sudah ke pengadilan, biarlah hakim yang memutus," tegasnya.