Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Negeri Tanpa Buku, Politik Jadi Panggung Komedi

27 September 2025   13:08 Diperbarui: 27 September 2025   13:08 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pejabat membaca buku. (Gambar dibuat dengan AI)

The Economist menyalakan alarm: tradisi membaca yang merosot membuat politik makin dungu. Dari George Washington sampai Donald Trump, pidato presiden Amerika makin sederhana, tanda menurunnya kecanggihan politik. Itu di negeri yang tradisi bacanya kuat. Sekarang bayangkan Indonesia, di mana pejabat kita lebih sering memamerkan cincin giok dan mobil dinas ketimbang rak buku. Kalau alarm itu berbunyi di Barat, di sini mestinya sudah meraung seperti sirine darurat kota.

Pejabat kita, mari jujur, lebih akrab dengan caption Instagram daripada bab tebal buku kebijakan publik. Kalau ada foto membaca, biasanya demi kamera. Buku hanya jadi properti, bukan sumber ide. Padahal dari buku lahir imajinasi, visi, dan kebijakan berjangka panjang. Tanpa buku, kebijakan hanyalah hasil obrolan di WhatsApp group staf khusus, ditambah bumbu survei elektabilitas.

Mungkin inilah sebabnya rancangan undang-undang disahkan kilat tanpa dibaca. Tidak usah jauh-jauh, anggota parlemen kita sering kelepasan mengaku belum sempat menelaah draf, tapi tetap setuju. Tradisi membaca diganti tradisi mengangguk. Kalau The Economist khawatir politisi Amerika makin dangkal, kita seharusnya lebih cemas: politisi kita bahkan jarang menyentuh air dangkal itu, langsung mengering di permukaan.

Pidato pejabat pun sudah lama jadi ajang lelucon. Isinya slogan berulang, kadang bercampur doa panjang, sesekali pepatah basi. Tidak ada data, tidak ada referensi, tidak ada tanda bahwa ia pernah menamatkan satu buku serius. Publik mendengar, lalu tertawa getir. Politik jadi panggung hiburan, bukan ruang gagasan. Pejabat kita lebih suka joget di TikTok ketimbang mengutip pemikiran Amartya Sen atau Nurcholish Madjid.

Masalahnya bukan sekadar gaya, tetapi teladan. Rakyat meniru pemimpin. Kalau pejabat sibuk membaca caption endorsement, rakyat pun ikut malas membaca. Kalau pejabat lebih bangga pamer jam tangan mewah daripada buku, jangan heran bila perpustakaan sepi. Literasi publik tidak bisa tumbuh dari mulut yang hanya bicara "literasi itu penting," tapi dari tangan yang benar-benar membuka halaman buku.

Bayangkan jika seorang menteri, alih-alih memamerkan jet pribadi, tiba-tiba mengunggah catatan tangannya dari buku kebijakan pendidikan Finlandia. Bayangkan jika seorang gubernur rutin merekomendasikan bacaan tiap minggu, bukan sekadar foto panen raya. Itu akan jadi sinyal kuat: membaca itu keren, buku itu bergengsi. Sayangnya, pejabat kita lebih suka memelihara aura misterius ketimbang membiarkan publik tahu seberapa tipis isi rak bukunya.

Dampak jangka panjangnya berbahaya. Demokrasi jadi gaduh tapi hampa. Kebijakan jadi reaktif: menambal ban bocor, bukan merancang jalan baru. Pendidikan ikut terjebak: siswa dituntut membaca, tapi pejabatnya tidak memberi contoh. Bangsa pun kehilangan arah, sebab pejabat sibuk menjaga citra ketimbang merawat gagasan.

The Economist menulis soal Amerika, tapi alarmnya jelas berlaku universal. Kalau negara dengan tradisi baca kuat saja bisa melahirkan politik dangkal, apa kabar kita? Di Indonesia, tradisi baca pejabat nyaris tidak pernah tumbuh. Hasilnya sudah kita lihat: politik jadi teater komedi, rakyat jadi penonton, dan buku tetap tersimpan rapi di rak, menunggu disentuh, mungkin hanya saat perpustakaan terbakar.

Jadi, mari kita tanyakan langsung: pejabat kita sebenarnya takut apa pada buku? Apakah takut buku menelanjangi kelemahan argumen mereka? Atau takut rakyat sadar bahwa di balik jas rapi dan pidato panjang, yang ada hanya kata-kata kosong? Apa pun jawabannya, satu hal pasti: selama pejabat kita menjauh dari buku, bangsa ini akan terus hidup dalam politik yang bising tapi miskin isi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun