Kita hidup di zaman di mana mesin belajar lebih cepat daripada murid. AI hadir dalam gawai, kelas, hingga kantor pelayanan publik. Namun pertanyaan penting sering kita abaikan: etika macam apa yang sesungguhnya menjadi dasar teknologi ini? Jawaban paling umum yang kini populer adalah information ethics atau etika informasi. Singkatnya, semua data dianggap bernilai dan harus dijaga. Kedengarannya indah, tapi benarkah cukup?
Mari kita bongkar. Etika informasi memang menekankan bahwa setiap potongan data memiliki nilai moral. Itu artinya privasi kita harus dilindungi, data tidak boleh dicuri, dan informasi tidak boleh dipelintir. Jika ada AI yang menyalahi prinsip ini, ia dinilai salah secara etis. Namun, apakah manusia hanya sekadar kumpulan data? Apakah martabat manusia sama nilainya dengan sekeping kode biner? Di sinilah titik buta etika informasi.
Islam mengajarkan konsep maqaid al-syari'ah atau tujuan hukum Islam: menjaga agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan-tujuan inilah yang seharusnya menuntun setiap instrumen, termasuk AI. Sayangnya, kerangka ini jarang disentuh dalam desain teknologi modern. Para insinyur sibuk mengutamakan keamanan data, tapi tidak menimbang apakah AI mereka melindungi akal manusia atau justru mengaburkan nurani. Mereka menjaga privasi pengguna, tapi melupakan dampak sosial: apakah aplikasi pinjaman daring membebaskan orang dari jerat riba atau justru melanggengkannya?
AI hari ini berhenti pada pagar minimal: "jangan salah gunakan data." Ia seperti penjaga gudang yang sibuk memastikan pintu terkunci, tapi tak pernah bertanya: apa isi gudang itu, untuk siapa, dan mengapa disimpan? Jika AI hanya dipandu etika informasi, maka kita sedang menciptakan raksasa tanpa arah. Mesin tahu cara menjaga kerapihan jalan, tapi tidak tahu ke mana harus melangkah.
Di sinilah Islam menawarkan etika amanah. Konsep yang menawarkan kerangka i'timani---berbasis amanah. Ada tiga perjanjian: ontologis, epistemologis, dan eksistensial. Ontologis artinya manusia tetap pusat, bukan sekadar angka dalam model statistik. Epistemologis menuntut kejujuran dalam pengetahuan: data tidak dimanipulasi untuk laba semata. Eksistensial menekankan tanggung jawab sosial dan lingkungan: AI tidak boleh hanya canggih, tetapi juga harus adil, lestari, dan berpihak pada kemanusiaan.
Bandingkan ini dengan etika informasi yang dingin dan netral. Netralitas di sini justru bahaya: ia memungkinkan bias sistemik tanpa ada standar moral lebih tinggi untuk mengoreksinya. Netralitas berarti AI bisa dengan tenang melayani iklan judi atau propaganda politik asalkan data tidak dicuri. Netral, tapi nihil moral. Itulah yang kini terjadi di banyak ruang digital kita.
Perspektif maqaid menuntut lebih: AI harus mendukung kehidupan, bukan mengancamnya. Harus memperluas akses pengetahuan, bukan mereduksi akal sehat dengan banjir konten menyesatkan. Harus melindungi keluarga dan generasi, bukan menjerumuskan mereka ke candu algoritmik. Dengan kata lain, AI tidak boleh berhenti pada etika informasi; ia harus naik kelas menjadi AI bermartabat, AI yang dituntun tujuan hukum Islam.
Pertanyaan kritis perlu kita lontarkan: mengapa umat Islam hanya menjadi konsumen pasif dari etika digital Barat? Mengapa kita menerima begitu saja standar privasi yang tak peduli pada ruh dan niat? Jika maqaid bisa mengarahkan hukum, mengapa tidak mengarahkan algoritma? Jika syariat bisa mengatur perilaku manusia, mengapa tidak bisa mengatur perilaku mesin?
Kita butuh keberanian untuk menggeser perbincangan. AI bukan sekadar aman dari pencurian data, tapi juga harus amanah dalam menjaga manusia. Amanah itu artinya AI tidak boleh mengabaikan martabat manusia demi efisiensi. Amanah itu artinya AI harus memikirkan dampak ekologis dari pusat datanya. Amanah itu artinya niat pembuatnya juga dipertimbangkan: apakah mereka sekadar mengejar laba, atau sungguh ingin menghadirkan maslahat?
Tulisan ini bukan penolakan atas etika informasi, melainkan kritik. Ia hanya satu pilar, sementara bangunan etika AI membutuhkan fondasi maqaid dan kerangka amanah. Tanpa itu, kita sekadar merayakan kecerdasan kosong yang mengagungkan data, tapi menyingkirkan manusia. Dengan itu, kita bisa berharap pada AI yang bukan saja pintar, tetapi juga adil, jujur, dan rahmatan lil-'alamn.