Fenomena "Rojali"---singkatan dari Rombongan Jalan-Jalan Tanpa Membeli---telah menjadi bagian lazim dari lanskap sosial urban, khususnya di pusat-pusat perbelanjaan besar. Mereka datang berkelompok, berjalan dari satu toko ke toko lain, namun pulang tanpa membawa kantong belanja. Sekilas, mereka terlihat seperti konsumen gagal. Namun bila ditelisik lebih dalam, Rojali justru mencerminkan transformasi konsumen modern: dari pembeli menjadi pencari pengalaman.
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan remeh-temeh, tapi dapat dijelaskan lewat pendekatan akademik dan perilaku konsumen. Beberapa penelitian dari berbagai belahan dunia menguatkan bahwa pusat perbelanjaan kini bukan semata tempat transaksi, melainkan arena sosial dan rekreasi.
1. Mal sebagai Ruang Pengalaman, Bukan Sekadar Belanja
Zamfirache et al. (2024), dalam studi mereka yang diterbitkan di Electronic Commerce Research, menyatakan bahwa pembeli saat ini "tidak hanya mencari tempat untuk berbelanja, tetapi juga mencari pengalaman" yang bermakna secara sosial, emosional, bahkan spiritual. Mereka menyebutkan bahwa mall modern perlu menyajikan atraksi seperti konser, galeri seni, tempat bersosialisasi, hingga spot instagramable demi menarik pengunjung yang datang bukan untuk bertransaksi, melainkan merasa terhubung.
2. Perilaku Window Shopping sebagai Bagian dari Strategi Konsumen
Ashish Bhatt (2014) dalam artikelnya Consumer Attitude towards Online Shopping in Selected Regions of Gujarat menjelaskan bahwa konsumen kerap mengunjungi mal bukan untuk membeli, tetapi untuk membandingkan harga, mencermati fitur produk, dan menilai layanan purna jual. Fenomena ini mencerminkan perilaku searching before purchasing, di mana keputusan pembelian sering kali terjadi di luar mal, misalnya secara daring.
3. Manusia Belanja untuk Hiburan dan Pengalaman Emosional
Naza Tajalli (2019) dalam artikel Online Shopping Behaviour Technology Advancement: A Great Change in Consumer Behaviour menyebut bahwa motivasi belanja tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga intrinsik: kesenangan (pleasure), keterlibatan gaya hidup (fashion involvement), dan pengalaman baru (novelty). Ketiganya terbukti mendorong konsumen untuk terus mengunjungi ruang belanja meski tanpa tujuan konsumtif.
4. Mal sebagai Tempat Sosial Anak Muda
Chawla (2018), dalam An Analysis of Consumers Behaviour towards Online Shopping Using Mobile Applications, menegaskan bahwa mal bukan hanya ruang belanja, tetapi juga ruang interaksi sosial. Studi ini menyebut bahwa sebagian besar pengunjung mal (khususnya usia 21--35 tahun) datang untuk menikmati suasana, mengisi waktu luang, dan berkumpul bersama teman. Dalam konteks ini, jalan-jalan adalah aktivitas utama; belanja menjadi sekunder.
5. Rojali sebagai Bentuk Respon terhadap Retail Korporat
Mathur (2019) dalam jurnal IJRAR -- International Journal of Research and Analytical Reviews menunjukkan bahwa konsumen kelas menengah kota seperti Jaipur mengalami perubahan perilaku akibat kehadiran mal-mal besar. Mal dinilai nyaman, lengkap, dan modern. Namun studi ini juga menunjukkan bahwa pengunjung tidak selalu membeli. Banyak yang sekadar melihat-lihat, dipengaruhi oleh strategi pemasaran yang menekankan pengalaman visual, atmosfer, dan gaya hidup, bukan harga.
Dari Konsumtif ke Reflektif
Fenomena Rojali sebetulnya adalah bentuk adaptasi konsumen dalam era pasca-konsumsi. Ini bukan tentang "tidak punya uang", tetapi tentang selektivitas. Orang tidak ingin menjadi korban iklan dan diskon, mereka ingin menjadi subjek aktif dalam pengalaman berbelanja. Mereka menikmati AC gratis, pencahayaan cantik, dan sudut-sudut foto estetik---tanpa harus membeli apa pun.
Bagi pengelola mal dan pemasar, ini bisa menjadi peluang atau ancaman, tergantung cara pandang. Jika kita mengukur keberhasilan mal hanya dari volume transaksi, maka Rojali adalah kerugian. Namun jika kita melihat mal sebagai ruang publik bergaya baru, maka Rojali adalah indikator vitalitas sosial.
Rojali Bukan Konsumen Gagal
Rojali bukanlah konsumen gagal. Mereka adalah bentuk baru konsumen urban yang lebih kritis, hemat, dan sadar ruang. Mereka tidak (selalu) belanja, tapi mereka hadir. Mereka menciptakan keramaian, mencitrakan tren, dan menciptakan budaya. Dalam dunia ritel yang makin kompetitif dan digital, kehadiran tanpa belanja pun bisa menjadi nilai.