Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Banyak Peneliti Kita Gagal Menjadi Penemu?

9 Juli 2025   13:00 Diperbarui: 9 Juli 2025   12:11 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peneliti. (Sumber: Freepik.com)

Di negeri ini, banyak orang dengan gelar doktor, profesor, bahkan peraih penghargaan nasional, merasa sudah "menciptakan" sesuatu hanya karena berhasil merakit robot, menulis buku tentang Internet of Things (IoT), atau membikin alat deteksi banjir dengan sensor arduino. Mereka bangga. Lalu dipuji. Diperlombakan. Difoto. Dijadikan berita.

Tapi tunggu dulu. Apakah itu benar-benar "inovasi"? Atau hanya aktivitas merakit dan mengulang?

Saya tidak sedang menyepelekan kerja keras peneliti kita. Tapi kita harus jujur. Banyak dari apa yang kita anggap "hasil riset" di Indonesia sejatinya belum keluar dari tahap awal: meniru. Kita mengamati, menyalin, lalu sedikit memodifikasi, dan menyebutnya "produk inovasi". Kita bangga pada hasil ATM --- Amati, Tiru, Modifikasi --- yang terus dipelihara dari generasi ke generasi, seolah-olah itu sudah cukup. Padahal dunia sudah berpindah dari ATM ke Artificial Intelligence dan rekayasa teknologi berbasis pengetahuan mendalam (deep tech).

Bandingkan dengan Jepang. Mereka tidak sekadar membuat robot yang bisa berjalan. Mereka menciptakan robot yang memahami emosi manusia. Mereka tak cuma merakit, mereka merumuskan ulang cara kerja mesin, perilaku algoritma, bahkan memperdebatkan etika robotika. Mereka bukan sekadar engineer, mereka adalah rekayasawan. Di situlah letak perbedaannya: creating is not just making.

Indonesia belum sampai ke sana. Kita baru pada tahap membuat, belum menciptakan. Dan ironisnya, sistem kita seperti mendorong untuk tetap di sana. Proyek riset dihargai dari banyaknya alat yang bisa di-launching, bukan dari apakah riset itu menghasilkan pengetahuan baru, paten yang layak industri, atau paradigma yang menggugah.

Lebih parah lagi, pencapaian riset sering jadi alat mobilisasi: untuk kenaikan jabatan, hibah lanjutan, atau bahkan pencitraan politik. Akhirnya, penelitian menjadi proyek-proyek jangka pendek demi output cepat. Padahal riset sejati butuh proses jangka panjang, kadang penuh kegagalan, dan seringkali tak bisa langsung "dipamerkan".

Saya jadi skeptis setiap kali membaca berita: "Peneliti Indonesia ciptakan alat pendeteksi gempa dengan biaya murah", atau "Mahasiswa menciptakan sepeda pintar anti-maling". Banyak dari itu hanya replikasi dari tutorial YouTube atau bahan ajar MIT yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, lalu diberi nama lokal. Tidak salah, tapi jangan terlalu cepat menyebutnya sebagai "inovasi".

Kalau kita tak segera ubah cara pandang ini, maka kita akan terus terjebak dalam budaya meniru dan membanggakan hasil setengah jadi. Pujian terlalu cepat bisa membunuh semangat riset sejati. Kita jadi terlalu mudah puas.

Sudah saatnya kita ubah standar:

  1. Ganti ukuran keberhasilan --- Bukan dari jumlah alat yang dibuat, tapi dari dampaknya: apakah riset itu memecahkan masalah nyata? Apakah bisa direplikasi secara massal? Apakah menghasilkan ilmu baru?

  2. Hargai proses, bukan hanya hasil --- Peneliti seharusnya berani gagal dan tetap diberi ruang. Negara-negara inovatif memberi insentif pada kegagalan yang cerdas, bukan hanya keberhasilan palsu.

  3. Stop glorifikasi semu --- Bukan berarti pesimistis, tapi realistis. Kita harus bisa bedakan antara teknologi hasil download dan rekayasa hasil perenungan.

  4. Dorong rekayasa fundamental --- Jangan hanya merakit dari modul yang sudah ada. Dorong generasi baru untuk berpikir dari nol: kenapa ini harus ada? Bisa nggak ini dibuat dengan cara baru?

Saya ingin mengusulkan pendekatan baru: dari ATM ke ATJ --- Amati, Tiru, Jebol. Artinya, setelah meniru, harus ada momen "melampaui" --- membongkar logika yang lama dan membuat sesuatu yang benar-benar baru. Bukan menambah sensor ke alat lama dan menyebutnya penemuan.

Indonesia tidak kekurangan SDM cerdas. Tapi kita kekurangan sistem yang membiarkan mereka tumbuh sebagai pencipta, bukan hanya teknisi. Kita perlu revolusi epistemik: dari meniru ke mencipta. Dari membuat ke menggugah. Dari prototipe ke paradigma.

Kalau tidak, maka sepuluh tahun lagi, kita masih akan menyebut robot rakitan Arduino sebagai "kebanggaan anak bangsa" --- sementara bangsa lain sudah menciptakan kesadaran buatan dan etika mesin.

Dan kita masih sibuk selfie di samping alat "ciptaan" kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun