Dalam artikelnya, Digital Replacement of the Dead: A Legitimate Worry?, Adam Buben (2025) menyampaikan kritik terhadap fenomena interactive personality constructs of the dead (IPCDs)---yakni representasi digital orang yang telah meninggal yang dikonstruksi melalui teknologi kecerdasan buatan. Buben berargumen bahwa IPCDs bukan sekadar alat bantu mengenang (recollection), tetapi berpotensi menggantikan (replacement) kehadiran si mati dalam kehidupan para yang ditinggalkan. Esai ini hendak mengkaji problem tersebut dalam perspektif epistemologi dan logika, terutama dalam relasi antara representasi, identitas, dan kebenaran, serta dampaknya terhadap status pengetahuan.
Klarifikasi Konseptual: Recollection vs Replacement
Dua konsep sentral dalam tulisan Buben adalah recollection dan replacement. Recollection adalah aktivitas epistemik yang mengakui keterputusan: kita mengingat karena kita tahu bahwa objek ingatan telah tiada. Sebaliknya, replacement adalah praktik simulatif yang berpretensi mempertahankan kesinambungan, seringkali dengan mengaburkan fakta ontologis bahwa subjek telah meninggal. Dalam pengertian ini, replacement bukan sekadar interaksi teknis, melainkan representasi epistemik yang secara performatif menegasikan ketiadaan.
Perlu ditekankan di sini bahwa Buben tidak menyoal kesalahan kognitif literal---yakni anggapan bahwa pengguna IPCD benar-benar mengira orang yang telah mati masih hidup. Kekhawatiran utamanya terletak pada pergeseran disposisi epistemik: dari relasi memori yang terbuka terhadap kehilangan, menuju relasi utilitarian yang menutup kemungkinan refleksi etis atas kematian. Ini membawa kita pada isu epistemik: apakah representasi digital seperti IPCD dapat dikatakan "mewakili" orang yang telah meninggal?
Representasi dan Kebenaran: Apakah IPCD Mungkin Merepresentasikan?
Secara logis, suatu representasi dikatakan valid jika terdapat relasi yang koheren dan bermakna antara representamen (simbol), objek, dan interpretant (penafsir), sebagaimana dalam semiotika Peircean. IPCD, sebagai entitas berbasis data, tidak berelasi langsung dengan kesadaran atau niat orang yang direpresentasikan. Ia hanyalah agregasi statistik dari jejak digital, dengan struktur internal yang sangat probabilistik, sebagaimana cara kerja model bahasa besar (LLMs).
Dengan demikian, IPCD tidak dapat mewakili "identitas epistemik" si mati. Identitas epistemik menuntut integritas niat, kesadaran historis, dan kapasitas normatif yang tidak bisa direduksi ke pola-pola linguistik. Ketiadaan niat (intentionality) dan kesadaran dalam IPCD menjadikannya semata-mata simulakra---suatu replika tanpa referen, sebagaimana dikemukakan oleh Baudrillard. Maka, penggunaan IPCD bukan hanya "tidak mewakili kebenaran", tetapi juga membentuk ilusi epistemik: seolah-olah makna dan niat si mati masih bisa diakses, padahal tidak.
Instrumentalisasi dan Penghapusan Ontologi Lain
Buben secara konsisten menggarisbawahi bahaya instrumentalisasi dalam penggunaan IPCDs. Dalam kerangka Kantian, manusia tidak boleh diperlakukan semata sebagai sarana, melainkan selalu juga sebagai tujuan pada dirinya. Namun dalam konteks IPCD, representasi si mati berpotensi digunakan untuk memenuhi kebutuhan afektif dan psikologis yang ditinggalkan, tanpa ruang untuk penghormatan terhadap subjektivitas yang telah tiada.
Secara epistemologis, ini adalah pergeseran dari ontologi intersubjektif menuju utilitarianisme epistemik: si mati tidak lagi dipahami sebagai subjek yang pernah memiliki dunia, melainkan sebagai fungsi-fungsi pragmatis---penghibur, penasehat, sahabat digital. Dalam logika relasi pengetahuan, ini serupa dengan menggantikan interlokutor sejati dengan proyeksi algoritmik yang selalu mengatakan apa yang ingin kita dengar.
Kematian sebagai Titik Batas Pengetahuan
Kematian dalam epistemologi bukan hanya ketiadaan fisik, tetapi juga batas kategoris atas relasi pengetahuan. Kematian menghentikan aliran niat, membekukan sejarah personal, dan membatalkan kemungkinan koreksi dan tanggapan. Dalam kerangka ini, segala usaha untuk "menghidupkan kembali" subjek yang telah mati adalah bentuk epistemic overreach---penerobosan terhadap batas yang secara ontologis dan moral tidak seharusnya dilampaui.
Dalam logika modal, kita bisa katakan: setelah seseorang meninggal, semua proposisi tentang dia menjadi proposisi dalam mode past actuality, bukan present possibility. Maka, interaksi dengan IPCD tidak dapat menghasilkan pengetahuan baru tentang subjek aslinya, melainkan semata pemrosesan ulang terhadap jejak historis yang telah terputus dari pemiliknya.
Implikasi Epistemik: Pengetahuan Palsu dan Kebutuhan Autentisitas
Jika epistemologi bertujuan mencapai justified true belief, maka penggunaan IPCDs menciptakan wilayah abu-abu: justifikasi yang tampak sah (berbasis data), tapi mengarah pada kepercayaan yang tidak mungkin diverifikasi oleh subjek asal. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita masih bisa menyebutnya "pengetahuan", atau sekadar ilusi kognitif yang menyerupai pengetahuan?