Hiroshima dan Nagasaki menjadi saksi bisu betapa manusia bisa memusnahkan satu kota hanya dalam sekejap. Perang ini juga menandai lahirnya tatanan dunia baru: Amerika Serikat dan Uni Soviet muncul sebagai dua kutub kekuatan, dan dunia pun masuk ke era baru yang disebut Perang Dingin.
Perang Dingin: Damai yang Tegang
Meski tidak terjadi perang langsung antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin (1947--1991) melibatkan puluhan perang proksi di berbagai belahan dunia: Korea, Vietnam, Afganistan, Kuba, dan banyak lagi. Dunia hidup dalam ketakutan nuklir. Sekali tombol ditekan, kiamat bisa dimulai.
Namun, di tengah ketegangan itu, lahirlah pula sistem-sistem internasional untuk menjaga perdamaian: PBB, NATO, dan berbagai pakta damai regional. Perang tidak pernah hilang, tetapi ditunda, disamarkan, atau dialihkan ke medan non-militer: ekonomi, teknologi, dan propaganda.
Zaman Kontemporer: Perang Tanpa Nama, Damai Tanpa Rasa
Setelah runtuhnya Uni Soviet, dunia berharap memasuki era damai. Nyatanya, perang tetap hadir, hanya bentuknya yang berubah. Konflik di Timur Tengah, invasi Irak, perang saudara Suriah, konflik Yaman, dan kini perang Rusia-Ukraina, semua menunjukkan bahwa diplomasi belum mampu menggantikan peluru sebagai bahasa kekuasaan.
Perang di era modern juga tidak selalu diumumkan. Serangan drone, siber, dan perang informasi menjadi senjata baru. Korban sipil tetap berjatuhan, tapi dunia tidak selalu melihatnya, karena perang kini tidak selalu disiarkan di layar kaca---melainkan disembunyikan dalam algoritma.
Iran dan Israel: Bom Waktu yang Berdetak
Kini, dunia menatap cemas pada konflik Iran-Israel. Ketegangan yang telah lama terpendam kini berada di ambang ledakan. Serangan udara, rudal balistik, dan ancaman nuklir bukan lagi wacana, tapi kenyataan yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Iran merasa terancam oleh superioritas militer Israel dan campur tangan Barat. Israel, di sisi lain, melihat program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Ketika pemimpin-pemimpin keras kepala duduk di kursi kuasa---Netanyahu, Khamenei, dan diam-diam Trump, Putin, Xi mengamati dari kejauhan---risiko kesalahan perhitungan (miscalculation) semakin besar.
Dunia seperti berjalan di atas kawat rapuh, di bawahnya menganga jurang kehancuran. Satu keputusan gegabah bisa menjadi pemicu Perang Dunia III, sesuatu yang dulunya hanya fiksi ilmiah, kini terasa makin nyata.
Manusia dan Pilihan yang Abadi
Perang adalah tragedi kolektif yang sering kali lahir dari ambisi segelintir orang. Sejarah menunjukkan bahwa manusia punya dua sisi: sebagai pencipta peradaban, dan sekaligus perusaknya. Jika perang adalah cermin kelam umat manusia, maka damai adalah cermin harapannya.
Tugas kita hari ini bukan hanya mengutuk perang, tetapi memahami akarnya dan memelihara upaya damai dengan lebih keras. Sebab, selama dunia masih dipimpin oleh ego, dendam, dan rasa takut, perang akan selalu menemukan jalannya.
Namun selama masih ada nurani, diplomasi, dan harapan, maka perdamaian pun tetap mungkin untuk diperjuangkan.