Seri 2 dari 10 seri "Menulis Agar Dibaca"
Di tengah derasnya arus informasi digital, umur sebuah tulisan bisa sangat pendek. Hari ini tayang, besok sudah tenggelam oleh berita baru, status baru, dan meme baru. Tapi tidak semua tulisan harus berakhir seperti itu. Ada tulisan-tulisan yang terus dibaca berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah diterbitkan. Mereka adalah jenis tulisan yang tahu caranya bertahan. Bukan karena kebetulan, tapi karena dirancang untuk tetap relevan dan mudah ditemukan.
Di dunia digital, relevansi tidak hanya ditentukan oleh waktu, tetapi juga oleh kemampuan ditemukan kembali. Tulisan yang baik tapi tak pernah muncul di hasil pencarian, lama-lama seperti buku bagus yang terselip di rak paling pojok dan berdebu. Maka, penulis zaman sekarang perlu jadi sedikit "pustakawan" juga---mengatur agar tulisannya mudah dicari dan ditemukan.
Salah satu kuncinya adalah judul dan kata kunci. Judul adalah gerbang pertama. Jangan anggap enteng kekuatannya. Judul yang baik bukan sekadar puitis atau cerdas, tapi juga harus "terbaca" oleh mesin pencari. Misalnya, menulis "Luka Lama Bernama Pendidikan" mungkin terdengar puitis, tapi kalau ingin tulisan itu ditemukan oleh orang yang mencari solusi pendidikan, lebih baik menambahkan penjelasan seperti: "Luka Lama Bernama Pendidikan: Catatan Kritis tentang Kurikulum dan Guru".
Selain judul, ada juga kata kunci---yang secara teknis disebut keywords. Di blog, di Kompasiana, bahkan di media sosial, kata-kata yang kita pakai bisa menjadi penanda digital. Mesin pencari seperti Google menyisir tulisan berdasarkan kata-kata itu. Maka, gunakan kata yang memang dicari orang, bukan hanya kata yang menurut kita keren. Kalau menulis tentang skripsi, sebutkan kata itu: "skripsi", "bimbingan", "lulus", "revisi". Jangan diganti dengan istilah gaul yang hanya dipahami segelintir.
Di media sosial, prinsipnya mirip. Hanya saja di sini, kita memakai hashtag (#). Tagar seperti #PendidikanIndonesia, #TipsMenulis, atau #LiterasiDigital bisa memperpanjang umur tulisan karena membantu algoritma "memasukkan" tulisan kita ke dalam pencarian topik tertentu. Bayangkan tagar seperti rak-rak di toko buku. Kalau tulisan kita tak ditaruh di rak mana pun, bagaimana orang akan menemukannya?
Namun, menjaga relevansi bukan hanya soal teknis. Isi tulisan juga perlu memiliki nilai jangka panjang. Tulisan yang isinya cuma mengomentari kejadian hari ini, bisa cepat kedaluwarsa. Tapi kalau kita menyisipkan refleksi, sudut pandang baru, atau pelajaran yang lebih luas dari satu peristiwa, tulisan itu bisa tetap dibaca lama setelah peristiwanya usai.
Misalnya, saat menulis tentang debat capres, jangan hanya berhenti di "si A menang si B kalah". Tapi tarik lebih jauh: bagaimana debat memengaruhi kualitas demokrasi kita? Apa pelajaran komunikasi yang bisa dipetik dari debat itu? Refleksi seperti inilah yang memberi "nafas panjang" bagi tulisan.
Dan terakhir, jangan lupa membagikan tulisan kita secara berkala. Bukan berarti kita harus terus-menerus menyebar tautan seperti sales digital, tapi lebih kepada mengangkat ulang tulisan yang relevan sesuai konteks. Misalnya, ketika isu pendidikan sedang ramai, kita bisa membagikan ulang tulisan lama tentang sekolah atau guru, dengan tambahan catatan: "Tulisan ini saya buat tahun lalu, tapi rasanya masih sangat relevan hari ini..."
Begitulah cara membuat tulisan terus hidup. Tidak dengan trik ajaib, tapi dengan perhatian kecil dan konsistensi. Tulisan yang relevan tidak hanya hidup lebih lama, tapi juga lebih berguna.
---