Banyak orang masih hidup dalam ilusi bahwa produk bermerek ternama---seperti Apple, Samsung, atau Nike---sepenuhnya dibuat di negara asal perusahaan tersebut. Ketika seseorang membeli iPhone dan berkata dengan bangga, "Ini buatan Amerika," sebenarnya itu adalah sebuah kesalahpahaman besar yang mencerminkan kurangnya literasi publik tentang realitas manufaktur global. Fakta yang sering diabaikan adalah: merek ternama hanya menempelkan logo di produk yang dikerjakan oleh jutaan tangan dari berbagai belahan dunia.
Kita hidup dalam sistem ekonomi yang didorong oleh Global Supply Chain Management (SCM)---rantai pasokan global---yang kompleks, terdesentralisasi, dan sangat bergantung pada efisiensi lintas negara. Dalam sistem ini, tidak ada satu negara pun yang "membuat" sebuah produk utuh. Yang ada hanyalah kolaborasi besar-besaran antarnegara dengan spesialisasi masing-masing, yang hasil akhirnya adalah produk yang kita kenal dan konsumsi setiap hari.
Mari ambil contoh konkret: iPhone, simbol status teknologi dan inovasi, yang sering diklaim sebagai produk "Made in USA." Pada kenyataannya, hanya sebagian kecil dari proses pembuatan iPhone yang terjadi di Amerika Serikat---terutama pada tahap desain dan pengembangan perangkat lunak. Sementara itu, proses nyata yang melibatkan produksi komponen seperti chip, sensor kamera, layar, hingga perakitan akhir, tersebar di berbagai negara: Taiwan, Korea Selatan, Jepang, China, India, bahkan Vietnam dan Malaysia.
Apa yang Membuat Produk Bermerek Itu Mewah? Bukan Lokasi, Tapi Manajemen
Dalam Global SCM, kekuatan bukan pada pabrik, tapi pada manajemen informasi, logistik, dan efisiensi. Apple, sebagai contoh, bukanlah perusahaan manufaktur dalam arti tradisional. Ia adalah raksasa teknologi yang unggul dalam design thinking, pemasaran, dan manajemen rantai pasokan. Pabriknya? Sebagian besar milik mitra luar seperti Foxconn di China atau Pegatron di India.
Ini adalah model bisnis yang sangat efektif---dan menguntungkan. Tapi ini juga membuka pertanyaan penting: Apakah merek besar hanyalah ilusi nilai tambah yang dikendalikan oleh strategi branding dan bukan oleh realitas produksi?
Ironi Nasionalisme Produk
Menariknya, konsumen sering terjebak dalam nasionalisme produk. Mereka ingin percaya bahwa barang buatan "negaranya sendiri" lebih baik, lebih unggul, lebih bernilai. Tapi global SCM telah menjadikan batas negara menjadi tidak relevan dalam konteks produksi barang. Sebuah laptop yang dijual di Jakarta bisa memiliki prosesor dari Amerika, motherboard dari Taiwan, memori dari Korea Selatan, dan dirakit di China---lalu dilabeli sebagai "produk Jepang" hanya karena mereknya berasal dari Tokyo.
Apa yang selama ini kita anggap sebagai "produk buatan negara X" sesungguhnya adalah kolaborasi global yang kompleks. Dan yang ironis, banyak konsumen tidak tahu---atau tidak peduli.
Kualitas Tidak Lagi Berarti Lokasi
Anggapan bahwa negara tertentu membuat barang lebih baik dari negara lain juga layak dipertanyakan. Kualitas kini adalah hasil dari standar dan kontrol mutu global, bukan dari paspor negara asal pabrik. Proses perakitan iPhone di India bisa setara dengan yang dilakukan di China, selama mengikuti standard operating procedures yang ditetapkan oleh Apple. Jadi, daripada bertanya "dibuat di mana?", pertanyaan yang lebih relevan adalah "dikelola oleh siapa?"
Mengapa Kita Harus Peduli?
Pendidikan masyarakat tentang realitas global supply chain bukan hanya soal informasi, tetapi juga soal pemahaman yang kritis terhadap bagaimana dunia bekerja. Ketika orang tahu bahwa produk yang mereka beli melibatkan tenaga kerja dari berbagai negara, mereka bisa lebih bijak dalam menilai nilai barang, memperhatikan etika produksi, dan bahkan menyadari bahwa kekuatan ekonomi bukan hanya soal merek, tapi soal siapa yang mengendalikan rantai distribusi dan logistik.
Lebih jauh lagi, literasi SCM juga penting untuk memahami dinamika geopolitik. Ketegangan antara AS dan China, misalnya, berdampak langsung pada ketersediaan dan harga produk teknologi di seluruh dunia, karena rantai pasokan menjadi terganggu. Pandemi COVID-19 adalah contoh nyata lain bagaimana gangguan kecil di satu titik rantai pasokan (misalnya pabrik di Wuhan) bisa memicu efek domino global.