Inilah ironi pendidikan tinggi kita. Mereka mengklaim sebagai institusi berbasis ilmu pengetahuan, tapi ketika diminta membuka proses internal untuk keperluan audit, mendadak semuanya "lupa". Padahal, bila prosesnya memang sesuai kaidah, BPMN historis harusnya mudah direkonstruksi.
Apakah universitas tidak punya dokumentasi proses dari tahun-tahun sebelumnya? Atau jangan-jangan, prosesnya memang tidak terdokumentasi dengan baik karena berjalan serampangan? Atau lebih parah, ada elemen dalam sistem yang sengaja dikaburkan untuk membuka celah-celah manipulasi?
Audit Forensik Bukan Sekadar Validasi Dokumen
Sebagian publik keliru memahami audit forensik sebagai sekadar pengecekan keaslian dokumen. Ini pemahaman yang dangkal. Audit forensik adalah proses investigasi menyeluruh terhadap jejak digital, sistem informasi, dan prosedur internal. Tujuannya bukan cuma mencari dokumen, tapi memahami bagaimana dokumen itu bisa (atau tidak bisa) muncul secara sah.
Tanpa BPMN historis, kita hanya bisa mengandalkan testimoni pihak yang (mungkin) punya kepentingan. Sedangkan audit forensik mengandalkan evidence-based reasoning---bukan sekadar kata-kata. Dengan BPMN, kita bisa menempatkan bukti dalam konteks proses, dan itu sangat penting.
Ketakutan yang Beralasan
Saya tidak heran bila sebagian pihak di institusi pendidikan enggan membuka prosesnya. Begitu BPMN ditampilkan ke publik, maka:
Kita bisa lihat celah atau bypass yang memungkinkan ijazah diterbitkan tanpa proses yang lengkap.
Kita bisa menilai apakah SOP hanya formalitas di atas kertas.
Kita bisa menemukan bahwa banyak proses tidak berjalan sebagaimana mestinya sejak awal.
Dan ini bukan hanya berisiko untuk satu kasus. Jika BPMN satu universitas dibuka, universitas lain bisa ikut terseret. Maka resistensinya bersifat sistemik.
Siapa Takut BPMN?
Pertanyaan besarnya sekarang: siapa yang takut BPMN masa lalu dibuka ke publik?