Di tengah hiruk-pikuk sengketa dugaan ijazah palsu mantan presiden Jokowi, satu hal yang nyaris tidak pernah disentuh secara serius adalah: menggambar ulang proses bisnis penerbitan ijazah. Ya, saya bicara soal Business Process Model and Notation (BPMN). Bukan sekadar SOP kosong yang jadi formalitas akreditasi, melainkan rekonstruksi detail, sistematis, dan forensik terhadap semua langkah dalam proses akademik. Tapi mengapa semua pihak tampak alergi terhadap pendekatan ini?
Sebagai orang yang mencoba melihat dari kacamata proses bisnis dan audit digital, saya skeptis. Bukan karena saya meragukan validitas dokumen yang bersangkutan secara langsung, tetapi karena saya mencium bau ketakutan sistemik terhadap transparansi proses. Kalau memang tak ada yang disembunyikan, kenapa tidak dilakukan audit proses secara terbuka?
Mari kita bahas akar masalahnya.
Mengapa BPMN Penting?
BPMN bukan mainan akademisi. Ini adalah alat investigatif yang sudah lazim dipakai di dunia industri dan pemerintahan untuk mengungkap fraud, inkonsistensi, hingga penyimpangan prosedur. Dalam konteks dugaan ijazah palsu, BPMN memungkinkan kita menelusuri:
Bagaimana proses penerimaan mahasiswa dilakukan di tahun tersebut?
Apa saja tahapan verifikasi data akademik?
Siapa yang berwenang menerbitkan ijazah?
Bagaimana alur pencetakan dan penandatanganan ijazah?
Apakah ada sistem backup atau pencatatan digital?
Kalau kita bisa membuat BPMN dari proses produksi mie instan sampai audit pajak, kenapa kita tidak bisa menggambar proses akademik di sebuah perguruan tinggi negeri?