Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Putus Kuliah: Masalah Individu atau Kegagalan Sistem?

21 Maret 2025   12:00 Diperbarui: 21 Maret 2025   11:13 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi putus kuliah. (Sumber: Freepik/KamranAydinov) 

Dalam konteks Amerika Serikat, Sarah S.C. Payne (2022) menyebut bahwa mahasiswa yang tidak menyelesaikan pendidikan tinggi sering kali terjebak dalam utang pendidikan tanpa hasil yang memadai. Fenomena serupa juga menghantui Indonesia, meskipun dengan bentuk dan akar masalah yang sedikit berbeda.

Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022 mencatat bahwa 375.134 mahasiswa di Indonesia berhenti kuliah. Angka ini mewakili 4,02% dari seluruh mahasiswa aktif. Sebuah jumlah yang mengkhawatirkan, terutama jika kita menyadari bahwa pendidikan tinggi masih dianggap sebagai jalan utama mobilitas sosial.

Yang menjadi persoalan utama adalah narasi umum yang menempatkan putus kuliah sebagai kegagalan individu. Mahasiswa dianggap tidak gigih, tidak disiplin, atau terlalu sibuk dengan dunia luar. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Payne (2022), banyak mahasiswa---terutama dari latar belakang ekonomi lemah---memikul beban struktural yang tak terlihat: tekanan keuangan, kurangnya dukungan sosial, dan ketidaksiapan sistem pendidikan tinggi untuk mendampingi mereka hingga lulus.

Di Indonesia, biaya kuliah yang tinggi menjadi salah satu faktor dominan. UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang bersifat progresif sering kali justru menekan mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah, karena masih dianggap mampu meski kenyataannya tidak demikian. Beasiswa memang tersedia, tapi tidak selalu cukup, tidak selalu tepat sasaran, dan sering kali tidak menjamin kelangsungan studi.

Jika kita terus mengabaikan dimensi struktural dari fenomena putus kuliah, maka kita sedang menciptakan bom waktu sosial: generasi muda yang terlilit utang, kehilangan arah, dan tidak lagi percaya pada janji pendidikan sebagai jalan sukses. Seperti halnya dalam temuan Payne, mereka yang hanya memiliki status "pernah kuliah" (some college) sering kali terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah, tanpa jaminan sosial, dan tetap tidak mampu keluar dari jeratan kemiskinan.

Apa yang Harus Dilakukan?

  1. Ubah Paradigma dari Akses ke Kelulusan. Jangan hanya bangga dengan angka partisipasi pendidikan tinggi, tetapi fokuslah pada seberapa banyak mahasiswa yang berhasil lulus.

  2. Reformasi UKT dan Bantuan Keuangan. Skema UKT harus dievaluasi secara mendalam. Bantuan keuangan harus adaptif, berkelanjutan, dan berbasis kebutuhan riil mahasiswa.

  3. Dampingi Mahasiswa Rentan. Institusi perguruan tinggi perlu menyediakan layanan konseling, mentoring, dan pendampingan akademik, terutama bagi mahasiswa dari kelompok rentan.

  4. Kembangkan Alternatif Pendidikan. Pendidikan vokasi harus diposisikan sebagai jalur prestisius, bukan pilihan kelas dua. Banyak mahasiswa putus kuliah karena program sarjana terlalu teoritis dan tidak sesuai dengan kebutuhan praktis mereka.

  5. Transparansi dan Literasi Finansial. Calon mahasiswa harus dibekali informasi yang transparan tentang biaya kuliah, peluang karier, dan risiko gagal lulus agar bisa mengambil keputusan yang rasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun