Ancaman bagi Integritas Pendidikan Nasional
Dalam beberapa waktu terakhir, kasus pemalsuan ijazah kembali mencuat dan menimbulkan keprihatinan mendalam bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ijazah yang seharusnya menjadi bukti kredibilitas akademik seseorang kini bisa dipalsukan, bahkan digunakan untuk menutupi rekam jejak pendidikan yang penuh rekayasa. Ini bukan hanya mencoreng dunia akademik, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan nasional kita.
Kasus terbaru yang menjadi sorotan adalah diskualifikasi Aries Sandi Darma Putra sebagai Calon Bupati Pesawaran dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pesawaran 2024 oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam persidangan, hakim MK menyatakan bahwa Aries Sandi tidak dapat membuktikan bahwa ia telah menyelesaikan pendidikan setingkat SLTA. Bahkan, SKPI Paket/Kesetaraan yang ia gunakan dinyatakan cacat hukum secara materiil, sehingga kepesertaannya dalam pilkada dibatalkan. Ironisnya, ia sebelumnya telah menjabat sebagai Bupati Pesawaran (2010-2015) dan bahkan memiliki gelar Sarjana Hukum dari Universitas Saburai.
Kasus serupa juga terjadi pada Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo. Pihak Universitas Ibnu Chaldun (UIC) menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan ijazah Sarjana Hukum (S1) atas nama kedua tokoh ini. Namun, keduanya tetap mampu menempuh pendidikan hingga jenjang S2 dan S3. Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka bisa melanjutkan pendidikan tinggi tanpa memiliki ijazah S1 yang sah? Kasus ini menjadi bukti betapa lemahnya sistem verifikasi akademik di Indonesia.
Mengapa Ijazah Palsu Bisa Beredar?
Maraknya ijazah palsu disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pertama, lemahnya sistem verifikasi akademik. Hingga saat ini, belum semua perguruan tinggi mengunggah data lulusan mereka ke dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti). Akibatnya, ada celah bagi oknum yang ingin menyalahgunakan sistem dengan menggunakan ijazah palsu tanpa terdeteksi.
Kedua, rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat dan institusi pendidikan. Masih banyak perguruan tinggi yang kurang serius dalam melakukan pengecekan latar belakang akademik calon mahasiswa S2 dan S3. Mereka lebih fokus pada aspek administratif tanpa memastikan keabsahan ijazah yang digunakan sebagai syarat masuk.
Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Meskipun penggunaan ijazah palsu dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 272 ayat (1) KUHP, kenyataannya masih banyak pelaku yang lolos dari jeratan hukum. Minimnya tindakan tegas membuat praktik ini terus berulang tanpa efek jera.
Solusi: Digitalisasi dan Integrasi Data Pendidikan
Untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia harus segera beralih ke sistem pendidikan berbasis digital dengan verifikasi yang lebih ketat. Beberapa langkah yang bisa diambil meliputi:
Implementasi Sistem Verifikasi Ijazah Elektronik (SIVIL) Secara Menyeluruh. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengembangkan Sistem Verifikasi Ijazah secara Elektronik (SIVIL) yang memungkinkan masyarakat memeriksa keaslian ijazah secara online. Namun, implementasi sistem ini masih terbatas dan belum mencakup seluruh lulusan di Indonesia. Pemerintah harus memastikan bahwa semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, wajib mengunggah data ijazah ke dalam SIVIL untuk meminimalisir pemalsuan.
Integrasi dengan Sistem Identitas Nasional. Saat ini, data identitas seperti E-KTP, SIM, dan NPWP sudah bisa diakses dengan mudah oleh pemerintah dan lembaga terkait. Mengapa ijazah tidak? Pemerintah harus mengintegrasikan data pendidikan dengan sistem identitas nasional sehingga keabsahan ijazah seseorang bisa langsung diverifikasi melalui satu platform terpadu. Dengan cara ini, mustahil bagi seseorang untuk menggunakan ijazah palsu tanpa terdeteksi.
Pemberlakuan QR Code pada Ijazah Digital. Perguruan tinggi harus mulai mengadopsi sistem ijazah digital dengan QR code yang bisa dipindai untuk memverifikasi keabsahan dokumen. QR code ini bisa langsung terhubung dengan database SIVIL atau PDDikti sehingga tidak ada ruang bagi pemalsuan. Beberapa negara seperti Estonia dan Singapura telah menerapkan sistem ini dengan sukses.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!