Seandainya politik Indonesia adalah sinetron, mungkin ratingnya bakal menyaingi "Tersanjung" atau "Anak Jalanan". Plotnya nggak ada habisnya, dramanya selalu panas, dan yang paling seru: pemeran utamanya bisa berubah-ubah, tapi tetap pakai formula yang sama. Ada tokoh setia, ada yang tiba-tiba berkhianat, ada yang pura-pura amnesia, dan tentu saja ada yang ingin menjadi pahlawan.
Sekarang, mari kita ngomongin satu istilah yang sering bikin orang heboh: pengkhianatan politik. Kata ini sering dipakai di dunia politik, tapi entah kenapa selalu terdengar lebih dramatis kalau sudah masuk media sosial. Misalnya: "Wah, si A berkhianat dari partainya!" atau "Jangan-jangan si B bakal berkhianat setelah menang!" Padahal, kalau di dunia kerja biasa, "berkhianat" itu cuma istilah lain dari "pindah kantor cari gaji lebih gede". Tapi ya namanya politik, selalu lebih berbumbu.
Bahasa Jurnalistik: Tegas, Ringkas, dan Jelas
Dalam dunia jurnalistik, istilah seperti "berkhianat", "tewas", dan "pecat" adalah bahasa yang umum digunakan untuk menyampaikan informasi secara tegas dan lugas. Kata "berkhianat" sering dipakai untuk menggambarkan perubahan arah politik yang drastis, "tewas" digunakan dalam laporan kejadian tragis, dan "pecat" menggambarkan pemecatan pejabat atau tokoh penting dari jabatannya, termasuk di dunia sepakbola yang sering menggunakan istilah ini ketika pelatih diberhentikan dari posisinya. Penggunaan kata-kata ini bukan tanpa alasan: media membutuhkan istilah yang singkat namun kuat untuk menarik perhatian pembaca dan menyampaikan pesan dengan cepat.
Dinamika Politik Itu Wajar, Bro!
Coba lihat sejarah politik kita. Dari dulu sudah penuh dengan "pengkhianatan"---istilah halus dari "penyesuaian strategi". Dulu Suharto naik menggantikan Sukarno dengan cara yang---kalau dibuat film---pasti bakal menang Oscar kategori "political thriller". Peristiwa G-30-S/PKI juga sering disebut sebagai bentuk pengkhianatan dalam sejarah politik Indonesia. Gus Dur pernah didukung Megawati, eh, akhirnya dilengserkan dan digantikan Megawati. SBY dulu loyal sama Megawati, tiba-tiba maju sebagai lawannya dan menang. Jokowi yang dulu dianggap "anak emas" Megawati, di ujung karirnya justru bikin Megawati geregetan.
Jadi kalau ada yang tanya, "Apakah Prabowo akan berkhianat pada Jokowi setelah resmi jadi presiden?" Jawabannya simpel: sejarah menunjukkan kemungkinan itu selalu ada.
Bukan karena Prabowo tipe politikus yang suka berkhianat, tapi karena politik adalah dunia yang penuh dengan dinamika. Nggak ada yang benar-benar bertahan dalam satu jalur, kecuali kepada kepentingan sendiri. Kalau kepentingannya masih sejalan, ya tetap teman. Kalau sudah nggak sejalan, siap-siap cari aliansi baru.
Bisa Nggak Sih Presiden Itu Konsisten?
Mungkin ada yang bilang, "Ya kan bisa aja tetap mengikuti kebijakan sebelumnya, nggak semua politikus berkhianat." Oh, tentu saja bisa. Tapi kalau presiden itu hanya mengikuti pendahulunya secara membabi buta, gimana dia mau punya kebijakan sendiri? Setiap pemimpin pasti ingin meninggalkan jejaknya sendiri. Itu sebabnya ada istilah legacy politik.
Misalnya, Jokowi punya ambisi untuk menyelesaikan proyek besar seperti IKN (Ibu Kota Nusantara), hilirisasi industri, dan stabilitas ekonomi. Tapi kalau misalnya nanti Prabowo punya visi lain yang dianggap lebih baik, tentu saja dia akan lebih memilih jalannya sendiri. Apakah itu "pengkhianatan"? Ya, bisa jadi. Itu namanya "penyesuaian strategi".
Makanya, kalau nanti kita lihat Prabowo mulai "memecat" orang-orang Jokowi dari kabinet, jangan langsung kaget. Itu normal. Setiap presiden butuh membangun kekuasaannya sendiri. Nggak mungkin dia terus-terusan jadi "anak buah" mantan presiden, kan?