Mohon tunggu...
Syahid Syukrie
Syahid Syukrie Mohon Tunggu... lagi dan akan terus belajar

Abdul Syahid udah ngajar Bahasa Inggris sejak zaman masih pakai kaset buat listening—alias sejak 1995! Gelar doktornya di bidang pengajaran Bahasa Inggris ia raih dari Universitas Negeri Malang tahun 2015, dan sejak 2020, beliau jadi dosen senior di IAIN Palangka Raya. Fokus risetnya? Campuran antara ngajar Bahasa Inggris dan ngubek-ngubek data ala bibliometrik. Kerja samanya lintas negara: dari Indonesia, Malaysia, Iran, sampai Amerika. Belakangan, beliau nulis bareng Prof. Donald Freeman (iya, yang itu, tokoh besar di dunia ELT) soal pelatihan guru Bahasa Inggris se-Indonesia yang ngikutin kerangka internasional. Beliau juga udah ngeriviu lebih dari 100 naskah buat jurnal-jurnal top dunia, dan duduk manis di dewan editorial kayak di *SAGE Open*. Aktif juga di komunitas Open Education Global dan Asian Council of Science Editors, dan sekarang menjabat sebagai Sekjen IARELTII—organisasi keren buat peneliti ELT di kampus Islam. Tapi, dari semua titel dan aktivitasnya, kerjaan paling penting menurut beliau? Jadi ayah dan suami yang rajin pulang ke rumah. Kalau mau ngobrol atau ngajak kolaborasi, bisa kirim surel ke: abdulsyahidbinsyukrie@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tim Pencari (bukan) Fakta

8 Januari 2012   15:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:09 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini negeri yang luar biasa. Tak ada yang bisa sembarangan mengumbar omongan, berita, atau apapun. Bangsa yang tercerahkan ini tak grasa-grusu dalam menyikapi sebuah persoalan. Biasanya, jika "ada kerikil dalam sepatu", ada tim yang dibentuk. Namanya macam-macam, Tim Gabungan Pencari Fakta, Tim Investigasi, Tim Pencari Kebenaran, Tim ..... sampai the A Team. Anggotanya orang-orang ber-IQ, EQ, ESQ di atas rata-rata. Tim reaktif itu dibentuk agar orang-orang tak berpendidikan, tak punya wawasan, tak banyak membaca, dan tak intelek seperti saya dibukakan mata hati dan pikirannya. Supaya tidak asal prihatin, menggugat, berkomentar, atau malah mogok makan.

Waktu kasus sontekan masal di sebuah SD jadi buah bibir, saya sok pintar ikut berkomentar. Eh, saya salah. Tim investigasi yang kompetensinya tak kalah dari Sherlock Holmes tak menemukan tanda-tanda jawaban yang dimanipulasi. Saya malu sendiri.

Untuk kasus lain juga begitu. Tragedi Mesuji, bencana lumpur di Jawa Timur, Century Gate dan gate-gate yang lain, maupun tragedi dan kasus lain yang akan datang pasti hasilnya lain daripada apa yang saya duga, rasa, dan cerna. Bahkan untuk tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di bumi kelahiran saya (Tragedi Sampit Februari 2001) apa yang disaksikan langsung oleh kami ternyata tak "signifikan" menurut kajian dan tinjauan tim ... lupa saya namanya saking hebatnya.

Jadi, saya sadar diri. Saya tidak akan sok berpendapat, mengeluh, apalagi memprotes suatu wacana yang tengah keras bergema. Saya mesti paham kapasitas intelegensi, emosional dan spiritual saya belum cukup untuk menoleh ke berbagai persoalan raksasa itu. "Syukurlah kalo insyaf," ujar istri menarik nafas lega. "Artinya bisa, nih, gantiin bohlam di dapur yang sudah putus 2 hari yang lalu."

Duh ....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun