Mohon tunggu...
Syafril Idrus
Syafril Idrus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peneliti Sadar Nusantara/Pemuda Gamtufkange

Jadilah Diri Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nelayan Tomalou, Enigma Lautan, dan Kekerabatan dalam Kehidupan

14 Januari 2020   09:09 Diperbarui: 14 Januari 2020   09:11 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada pagi cerah pantulan jingga mentari dengan semangat baru. Di lautan ikan-ikan telah menyerahkan diri untuk jadi tangkapan bagi para nelayan dengan sampan menerjang buih putih di tengah laut biru. Nelayan dari tepi pantai paling berani; TOMALOU. 

Di remang subuh sudah membuka mata dan gigil tubuh menerima terpa angin sakal. Untuk menggantung nasib pada sisa bintang atau bulan di langit kelam. Untuk menerka cuaca atau badai atau ombak selaba di perairan Maluku Utara.

Sauh ditarik, tali sampan dilepas, keluarga menaruh harap di punggung dan ikan-ikan di kejauhan merasakan tanda kematiannya. Nelayan Tomalou dengan hohate sebagai Izrail paling menakutkan dari pesisir Tidore. Julung-julung berlompatan ketika getar permukaan air dilewati perahu nelayan. 

Ketika hohate ditebarkan dalam lautan, cakalang mengalah dan julung meronta begitu kepalang. Dan saat langit sore memerah para nelayan menimbun penuh segar ikan cakalang dan julung dan ikan-ikan tak bernama di atas sampan. Pulang rebahkan lelah, jatuhkan jangkar, dan merentangkan sejarah sebagai nelayan berpengalaman.

Jauh sebelum kolonial Belanda berambut emas menemukan Tidore atau Nusantara bernama Indonesia, para nelayan andal lahir dari rahim lautan Tomalou. Ketika Kolano Syahjati memperkenalkan seseorang dari kerajaan laut bernama Raja Delo, ia menjahit ingatan dan kehebatan, kekerabatan masyarakat Tomalou dengan lautan. 

Dan menjanjikan anak-anak yang lahir kemudian akan merasakan lautan sebagai saudara yang ingin dijamah, dikunjungi, dan diselami. Menjadi nelayan adalah sebuah kemuliaan.

Orang-orang di masa lalu memasung harapan agar sampan dan lautan terus beriringan. Agar pantai Tomalou dengan kokoh masjid Nurul Bahar tetap saling berpelukan. Gelombang dan pasang air datang sebagai panggilan untuk melaut. Menerjemahkan misteri tentang laut dalam atau kapal karam atau rahasia masa lampau yang tenggelam.

Sejak Marijang menjulang dengan dekapan lautan, Tomalou menggaris keturunan dengan angka delapan: Marsaoly, Gamsoro, Tauisa, Albanjar, Konoras, Waddas, Tomakoa, juga Sero-sero. Di situ lautan menyaksikan tangisan, tawa, kesedihan, dan kebahagian dalam kehidupan. Betapa kepak ombak di pesisir telah jadi saksi dengan riuh dan letup buih-buihnya. 

Barangkali, lautan memang tak meminta mereka untuk mencapai kedalaman, tetapi melestarikan perjuangan sebagai nelayan. Sebagai bentuk kecintaan pada harapan sejarah. Ikan-ikan, cuaca, dan sore ingin ditafsirkan kembali. Dieja dengan makna, "menjaring kekuatan di atas sampan." 

Sebab pena yang mampu menuliskan makna kehidupan di atas air hanya para nelayan dengan perahu-perahunya, yang bertebaran di lautan biru, kerlap-kerlip lampunya di malam hari, dan senyum cerianya pada jingga awan maghrib.

Tebarkan pukat atau jala atau hohate di luas lautan dan rasakan ikan yang jatuh cinta bergetar di kedalaman. Lepaskan sauh, tariklah semangat paling biru di desah angin juga dorongan arus untuk menjelajah arah berenang julung. Temukan puisi dalam percikan cahaya matahari yang memantul pada jernih air dengan asin garam nasib. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun