Mohon tunggu...
Syafrawadi
Syafrawadi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis berita kegiatan pribadi, informasi desa dan sejenisnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi Kemerdekaan RI : Antara Syukur dan Hura-Hura

20 Agustus 2025   17:29 Diperbarui: 20 Agustus 2025   17:29 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Hanya ilustrasi (Sumber: Foto pribadi

Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan. Bendera Merah Putih berkibar, lomba-lomba rakyat digelar, karnaval meriah diadakan, dan suasana penuh semarak menyelimuti negeri dari desa hingga kota. Bahkan ada beberapa daerah yang harus mempersiapkan diri bersusah payah demi menyambut kedatangan kepala Negara atau pejabat setingkat itu dan pejabat-pejabat tinggi lainnya. Namun, di balik keceriaan itu, muncul pertanyaan mendasar : apakah perayaan ini benar-benar menjadi wujud syukur atas nikmat kemerdekaan, ataukah sekadar rutinitas hura-hura tanpa makna ?

Kemerdekaan Bukan Sekadar Seremonial

Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini lahir dari pengorbanan darah, air mata, dan nyawa para pahlawan. Mereka berjuang bukan untuk melahirkan bangsa yang gemar pesta, melainkan bangsa yang bermartabat, adil, dan sejahtera. Akan tetapi, ironisnya, perayaan kemerdekaan kerap bergeser menjadi ajang hiburan semata, terjebak dalam rutinitas lomba dan pesta rakyat, tanpa perenungan yang dalam tentang nilai perjuangan.

Kehidmatan atau sakralnya upacara terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, hingga kegitan-kegiatan yang digelar setelah upacara. Sebagai warga Negara yang baik saya selalu menyaksikan upacara ini setiap tahun nya melalui media. Walaupun hanya menyaksikan dari layar kaca televisi atau layar komputer dari rumah, jujur saya merasa terharu melihat ini, terlihat barisan Paskibra yang sangat memukau penonton. Intinya begitu terasa dan mengharukan serta tanpa sadar dua mata ini mengalirkan air mata keharuan.

Akan tetapi pada tahun 2025 sepertinya rasa itu bergeser dari sebelumnya. Masih dalam rangkaian acara, sepertinya sudah mencampuradukkan dengan hal-hal kurang bermakna, bercampur aduk dengan aneka musik atau tarian yang berjingkrak-jingkrak. Ada juga di beberapa daerah dibelahan nusantara ini. Mereka bergoyang dan menari dengan tarian-tarian daerahnya masing-masing. Juga dengan berbagai pesta yang berkedok Budaya. Dan justru ada di beberapa daerah lebih meriah lagi menghabiskan dana Ratusan juta. dan mirisnya hal - hal begini di dukung dengan dana serta anggaran yang juga merupakan bersumber dari rakyat.
Di tengah himpitan ekonomi yang rata-rata dirasakan rakyat seluruh Indonesia. Kenapa seakan - akan kepekaan kita semakin hilang ?. Sudah jelas di bulan agustus ini awal semester sekolah, mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Bagi sebagian orangtua adalah bulan Juli hingga Agustus adalah bulan – bulan *penderitaan*.  Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Akan tetapi justru di bulan-bulan  ini juga perlu *pengeluaran* ekstra bagi rakyat untuk sekedar *ikut terbawa* hura-hura kemerdekaan.
Ke depan kita berharap kepada para pemimpin yang berwenang di Negeri ini, untuk melihat dengan jeli dengan mata nurani sebisa mungkin membatasi bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan di bulan Agustus dan jauh dari pemborosan biaya serta bisa menekan *penderitaan* yang disebutkan tadi.

Karena secara umum kegembiraan yang berlebihan demikian dapat menghilangkan serta melupakan nilai sebenarnya kemerdekaan dan dapat melupakan secara tidak langsung bagaimana pedihnya perjuangan pendahulu-pendahulu kita dalam mencapai kemerdekaan.

Tidak salah mengisi hari kemerdekaan dengan kegembiraan, sebab kemerdekaan adalah anugerah besar. Namun, yang memprihatinkan adalah ketika kemeriahan lebih mendominasi dibandingkan kesadaran dan merenungkan bagaimana mengisi kemerdekaan dengan kerja keras, integritas, dan kepedulian sosial. Hura-hura tanpa makna bisa menjadikan kemerdekaan hanya sebatas seremoni tahunan, bukan sebuah energi moral untuk membangun bangsa.

Mengembalikan Makna 17 Agustus

Syukur atas kemerdekaan seharusnya tidak berhenti pada kata-kata atau pesta. Syukur sejati ditunjukkan dengan menjaga persatuan, menegakkan keadilan, memberantas korupsi, memperkuat pendidikan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan adalah amanah yang harus dijaga, bukan sekadar alasan untuk berpesta.

Momentum 17 Agustus seharusnya menjadi cermin untuk melihat sejauh mana bangsa ini setia pada cita-cita kemerdekaan: “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “memajukan kesejahteraan umum”. Jika perayaan kemerdekaan hanya berhenti pada hura-hura, maka semangat para pahlawan akan terkubur dalam euforia sesaat.

Kemerdekaan bukanlah pesta, melainkan tanggung jawab. Perayaan boleh meriah, tetapi jangan sampai melupakan esensi: bersyukur kepada Tuhan dan menghargai pengorbanan para pahlawan dengan cara mengisi kemerdekaan secara bermakna. Sudah saatnya bangsa ini menjadikan 17 Agustus bukan sekadar hura-hura, melainkan momentum refleksi untuk menjadi bangsa yang lebih berdaulat, adil, dan sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun