Mohon tunggu...
Syaefunnur Maszah
Syaefunnur Maszah Mohon Tunggu... Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Concern pada masalah sosial kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PII: Kawah Candradimuka Kader Bangsa

3 Agustus 2025   08:49 Diperbarui: 3 Agustus 2025   08:49 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko-tokoh kader PII. / Dok.PP.KBPII.

Penulis menerima undangan Pelantikan Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PP KBPII) periode 2024--2028 di Dewan Pertimbangan. Mungkin karena penulis pernah dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar PII pada periode 1992--1995. Acara itu diselenggarakan pada hari Ahad, 3 Agustus 2025, di Gedung DPR/MPR RI, Senayan---tempat Ketua MPR RI Ahmad Muzani berkantor. Menariknya, beliau juga merupakan bagian dari keluarga besar PII. Dari ruang megah kekuasaan itu, pelantikan semoga akan berlangsung khidmat, dan mengalirkan energi muda yang luar biasa.

PII atau Pelajar Islam Indonesia adalah organisasi pelajar tertua di Indonesia yang lahir pada 4 Mei 1947. Ia tumbuh di tengah situasi revolusi kemerdekaan, dengan semangat untuk menyempurnakan arah pendidikan dan kebudayaan bangsa agar sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sejak awal, PII bukan sekadar organisasi, tetapi sebuah gerakan yang memadukan ruh keislaman, semangat intelektual, dan panggilan kebangsaan. Visi itu relevan hingga kini, bahkan semakin penting dalam menghadapi tantangan masa depan Indonesia.

Dalam semangat filosofis, Ibn Khaldun pernah menulis bahwa pendidikan adalah sarana membentuk manusia yang beradab dan bermasyarakat. Bagi PII, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses transformasi karakter dan peradaban. Dalam konteks modern, teori Human Capital yang dikembangkan oleh Gary Becker juga menegaskan bahwa sumber daya manusia adalah modal paling strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Maka tak berlebihan bila PII disebut sebagai "pusat penggemblengan" atau learning center bagi human capital umat dan bangsa.

Ada tiga dimensi utama peran PII yang relevan untuk dianalisis hari ini. Pertama, peran keilmuan dan keterpelajaran (intelektualisme). PII membina pelajar agar memiliki cara berpikir kritis, sistematis, dan rasional, jauh dari fanatisme buta atau sikap taklid. Budaya membaca, berdiskusi, dan menulis ditanamkan dalam setiap kaderisasi. Inilah yang menjadikan PII sebagai sekolah kader pemikir dan pemimpin yang tahan banting di tengah gelombang zaman.

Kedua, peran keislaman sebagai moral watch. Dalam konteks ini, PII tak hanya mengajarkan syariat, tetapi membangun kesadaran moral untuk menjadi pelajar yang jujur, amanah, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta kemanusiaan. Kader PII dilatih untuk tidak sekadar paham agama, tetapi juga berani bersikap kritis terhadap ketidakadilan sosial dan kemerosotan moral di lingkungan sekitar. Mereka tidak segan menjadi pengingat bagi kekuasaan.

Ketiga, peran kebangsaan yang kuat dalam memperjuangkan national interest Indonesia. Sejak era perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi, kader-kader PII tampil aktif dalam panggung sejarah bangsa. Mereka tidak mengasingkan diri dari urusan negeri, tapi justru hadir sebagai bagian dari solusi. Kebangsaan dalam bingkai keislaman menjadi DNA PII yang membedakannya dari gerakan lain.

Nama-nama besar seperti Jusuf Kalla (Wapres dua periode), Prof. Yusril Ihza Mahendra (Menko yang ahli hukum tata negara), Prof. Jimly Asshiddiqie (Ketua MK pertama), Tanri Abeng (menteri BUMN pertama), hingga KH Hasyim Muzadi (eks Ketua Umum PBNU), Prof. Muhadjir Effendi (tokoh Muhammadiyah dan eks Menko), pengusaha dan eks Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir, dan Prof. Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR RI) adalah contoh nyata kader PII yang berkontribusi dari berbagai lini. Ada yang berada di "kanan", di "kiri", dan di "tengah"---namun semuanya berangkat dari dapur kaderisasi yang sama. Mereka membuktikan bahwa perbedaan pilihan politik tidak menghapus identitas nilai yang telah dibentuk sejak dini.

Dari pengalaman panjang ini, ada dua learning point yang penting digarisbawahi. Pertama, kaderisasi yang sistematis dan bernilai ideologis akan melahirkan sumber daya manusia yang tangguh, tidak mudah dibeli, dan tidak kehilangan arah meski di pusaran kekuasaan. Kedua, ruang kaderisasi yang memadukan aspek keilmuan, keislaman, dan kebangsaan akan melahirkan pemimpin yang tidak hanya cerdas, tapi juga berintegritas dan cinta tanah air.

Dalam era disrupsi seperti sekarang, ketika banyak generasi muda kehilangan arah dan nilai, model kaderisasi PII menjadi relevan kembali. Ini bukan nostalgia, tapi panggilan zaman untuk melanjutkan estafet kepemimpinan yang berakar pada nilai dan pengabdian. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap elite politik, bangsa ini memerlukan pusat-pusat penggemblengan yang mampu melahirkan pemimpin bermoral dan berpikiran strategis.

PII bukan satu-satunya, tapi salah satu yang terbukti konsisten. Ia ibarat kawah candradimuka tempat para pemuda disiapkan bukan hanya untuk mengisi jabatan, tapi menggerakkan peradaban. Indonesia butuh lebih banyak lembaga seperti PII---yang tak sekadar membentuk manusia pintar, tapi juga berkarakter dan berjiwa pemimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun