Indonesia kini tengah memasuki babak baru dalam membangun kekuatan pertahanannya. Visi Perisai Trisula Nusantara atau Nusantara Trident Shield (NTS) hadir sebagai tonggak strategis yang tak hanya mewarisi semangat Minimum Essential Force (MEF), tetapi juga melampauinya dengan pendekatan yang lebih holistik dan adaptif terhadap dinamika peperangan modern.
Program MEF yang digagas sejak era sebelumnya menekankan pada pencapaian kekuatan pokok minimum untuk menjamin pertahanan negara. Namun, dalam perkembangan geopolitik kawasan dan tantangan keamanan multidimensi, MEF tidak lagi cukup. Di sinilah NTS tampil sebagai visi besar yang lebih terintegrasi, lebih ambisius, dan lebih berorientasi masa depan.
Dalam artikel The Jakarta Post berjudul "Indonesia's grand strategy for integrated deterrence and defense modernization" oleh Muhammad Hadianto dan Gautama Adi Kusuma, 29 Juli 2025, dijelaskan bahwa visi NTS diperkenalkan oleh Presiden Prabowo Subianto saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Ia menawarkan pendekatan pertahanan yang menyatukan kekuatan konvensional dengan teknologi canggih seperti sistem perang siber dan pertahanan ruang angkasa, serta memperkuat sinergi tiga matra TNI dalam satu sistem terpadu.
Yang membuat visi ini menonjol adalah keberaniannya melampaui sekadar pembelian alutsista. NTS mengedepankan modernisasi menyeluruh atas doktrin, teknologi, dan cara pandang pertahanan. Artinya, bukan hanya tank dan jet tempur yang dimutakhirkan, tapi juga cara berpikir, cara bertempur, dan cara negara bersiap dalam menghadapi ancaman, baik dari negara maupun aktor non-negara.
Dari sisi teori hubungan internasional, strategi NTS sangat selaras dengan teori realisme neoklasik. Teori ini menyatakan bahwa kebijakan luar negeri dan pertahanan tidak hanya dipengaruhi oleh sistem internasional, tapi juga oleh variabel domestik seperti persepsi elite dan kapasitas institusi negara. Dalam konteks ini, visi NTS mencerminkan kebutuhan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan besar, sekaligus kesadaran akan keterbatasan yang harus diatasi secara bertahap dan realistis.
Pakar pertahanan asal Amerika Serikat, Michael O'Hanlon dari Brookings Institution, pernah menyampaikan bahwa "modernisasi pertahanan yang efektif bukan soal memiliki persenjataan canggih, tetapi soal bagaimana strategi, teknologi, dan kesiapsiagaan nasional menyatu dalam satu kerangka yang mampu menjawab ancaman." Pernyataan ini sangat cocok menggambarkan semangat NTS.
Salah satu dimensi penting dari NTS adalah penguatan efek deterrence atau penangkalan. Dengan mengembangkan sistem pertahanan terintegrasi---termasuk ranah siber dan ruang angkasa---Indonesia dapat mengirimkan sinyal kuat kepada pihak manapun bahwa setiap bentuk ancaman akan menghadapi konsekuensi yang serius. Ini bukan hanya menjaga kedaulatan, tapi juga menunjukkan posisi tegas Indonesia di tengah konstelasi geopolitik yang makin dinamis, terutama di wilayah seperti Laut Natuna Utara dan Selat Malaka.
Implikasi dari implementasi NTS terhadap kekuatan pertahanan Indonesia sangat signifikan. Pertama, Indonesia akan bertransformasi dari kekuatan pertahanan berbasis reaktif menjadi kekuatan proaktif dan preventif. Kedua, kolaborasi antara sektor publik dan swasta akan menciptakan ekosistem pertahanan yang mandiri dan berkelanjutan. Ketiga, integrasi militer dan non-militer membuka peluang besar dalam pemanfaatan teknologi lokal, riset strategis, dan pengembangan SDM pertahanan yang unggul.
Namun, kesuksesan NTS tentu bergantung pada keberlanjutan politik dan alokasi anggaran yang memadai. Dalam artikel yang sama di The Jakarta Post, disarankan agar Indonesia secara bertahap meningkatkan anggaran pertahanannya hingga minimal 1,5 persen dari PDB. Hal ini bukan untuk bersaing dengan negara lain secara agresif, melainkan untuk menjaga kesiapan nasional dalam berbagai skenario kontingensi.
Penting pula untuk dicatat bahwa NTS bukan sekadar proyek elit militer atau simbol kekuasaan negara. Ia seharusnya menjadi agenda kebangsaan yang melibatkan universitas, industri strategis, komunitas teknologi, dan rakyat Indonesia secara luas. Inilah saatnya membangun pertahanan yang bersumber dari kekuatan bangsa sendiri---berdaya, berdaulat, dan berwibawa.