Dalam cakrawala seni, seorang filosof musik bukan sekadar penggubah nada, tetapi penafsir kehidupan melalui bunyi, lirik, dan pesan-pesan estetik yang menyentuh lapisan terdalam kesadaran manusia. Filosof musik adalah mereka yang menyatukan dimensi keindahan dan kebijaksanaan dalam ekspresi musikalnya. Dalam konteks ini, Rhoma Irama, Raja Dangdut asal Indonesia, pantas mendapat tempat sejajar dengan para maestro dunia. Ia tak hanya menciptakan irama, tetapi juga menyampaikan nilai, menyadarkan, bahkan menegur dunia melalui musiknya.
Dalam sejarah musik global, nama-nama seperti Bob Dylan, John Lennon, hingga Fela Kuti dikenang karena mereka tidak hanya bernyanyi, tapi menggugat tatanan sosial, memanggil kesadaran kolektif, dan menyuarakan keadilan. Rhoma Irama berada di spektrum yang sama. Karyanya menjembatani musik dengan moralitas, religiositas, dan kritik sosial yang tajam. Etnomusikolog asal Harvard, Prof. Kay Kaufman Shelemay, pernah menyebut bahwa musik memiliki kekuatan membentuk identitas dan menggerakkan perubahan sosial dalam konteks budaya lokal yang kuat. Dalam arti ini, Rhoma adalah figur yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan budaya Indonesia dan transformasi sosial masyarakat.
Dalam teori musik sebagai praktik budaya yang dikembangkan oleh Tia DeNora (sosiolog musik asal Inggris), musik berperan aktif dalam membentuk tindakan sosial dan persepsi masyarakat, bukan hanya menjadi refleksi pasif dari kebudayaan. Teori ini beresonansi kuat dengan praktik musikal Rhoma Irama yang sejak awal tidak pernah netral. Lagu-lagunya seperti Begadang, Judi, Haram, Keramat, dan Emansipasi Wanita tidak sekadar dinyanyikan di panggung, tapi menyasar sistem nilai, mencetuskan debat moral, dan mengubah cara pandang masyarakat tentang kehidupan.
Dalam tradisi Islam, musik seringkali diposisikan secara problematik. Namun, para filosof muslim klasik seperti Al-Farabi dalam Kitab al-Musiqa al-Kabir menempatkan musik dalam dimensi rasional dan moral. Musik, bagi Al-Farabi, bukan sekadar hiburan tetapi sarana pendidikan jiwa yang efektif, selama tidak melalaikan akal dan iman. Rhoma Irama membuktikan itu. Ia menjadikan dangdut sebagai wahana dakwah---suatu keberanian intelektual dan artistik yang langka di dunia musik modern.
Kita bisa menganalisis lagu Haram yang secara lugas menyampaikan bahaya narkoba dan pergaulan bebas. Dengan musik yang khas dan lirik eksplisit, Rhoma berhasil menjangkau masyarakat akar rumput tanpa terkesan menggurui. Lagu Keramat mengangkat tema bakti kepada ibu, membingkai ajaran Islam tentang pentingnya memuliakan orang tua. Dalam 135 Juta, Rhoma menggugah nasionalisme dan mengkritik ketimpangan sosial, sesuatu yang jauh melampaui anggapan bahwa dangdut adalah sekadar musik hiburan.
Keberhasilan musikal Rhoma tidak semata-mata karena irama yang enak didengar, tetapi karena keberaniannya menarasikan problematika zaman melalui bahasa rakyat. Ketika mayoritas musisi mengejar pasar, Rhoma justru menantang pasar agar menerima pesan yang kuat. Ia menciptakan genre baru: dangdut dakwah. Karya seperti Perjuangan dan Doa, Azza, hingga Taqwa menunjukkan bahwa musik bisa menjadi jalan spiritual sekaligus intelektual.
Rhoma juga sukses membuktikan bahwa seni dapat menjadi instrumen transformasi sosial. Ia mendirikan Soneta Group sebagai "orchestra of moral", yang secara terang-terangan menjunjung nilai-nilai agama, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Lewat konsernya, dia tidak hanya bernyanyi, tapi berdakwah. Lewat film-filmnya seperti Pengabdian, Nada dan Dakwah, dan Satria Bergitar, ia menyatukan narasi moral dan estetika dalam bentuk yang populis dan mudah diakses publik.
Kontribusi positif Rhoma terhadap peradaban Indonesia tidak dapat disangkal. Ia menjadi pelopor dalam membumikan nilai-nilai Islam ke dalam ekspresi budaya pop yang semula dianggap sekuler. Di tengah arus globalisasi dan hedonisme musikal, Rhoma menjadi dinding penahan yang mengingatkan bahwa musik tidak boleh tercerabut dari nilai dan akhlak. Ia memberi alternatif bagi generasi muda untuk mencintai musik tanpa kehilangan arah hidup.
Lebih jauh, Rhoma Irama adalah simbol bahwa seorang musisi bisa menjadi intelektual publik. Ia memahami realitas sosial, membaca zamannya, dan menjawabnya dengan instrumen musik. Ia tidak hanya menggugah emosi, tetapi juga memicu refleksi. Dalam tradisi filsafat, ini adalah fungsi kritis yang selama ini dibebankan kepada para pemikir. Rhoma melakukannya dengan gitar dan lirik, bukan dengan jurnal akademik.
Jika John Lennon menantang dunia melalui Imagine, Rhoma Irama menantangnya dengan Riba, Judi, atau Emansipasi Wanita. Dalam berbagai pentas, ia berani mengusung moral dan etika ketika dunia musik sibuk menampilkan glamor dan cinta picisan. Ia juga pernah menolak manggung jika sponsor konsernya tidak sejalan dengan prinsip moral. Ini menunjukkan bahwa bagi Rhoma, musik bukan alat jualan, melainkan alat perubahan.