Raja Ampat, sebuah gugusan pulau indah di ujung barat Papua Barat Daya, Indonesia, selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Kawasan ini menjadi rumah bagi lebih dari 75% spesies karang dunia dan ribuan spesies ikan yang tidak ditemukan di tempat lain. Tak heran jika wilayah ini dinobatkan sebagai Kawasan Konservasi Nasional dan Geopark Global UNESCO. Namun di balik keindahannya, Raja Ampat kini menghadapi ancaman serius akibat eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel yang mulai merambah wilayah-wilayah sensitif ekologis di daerah tersebut.
Sejak tahun 2023, beberapa perusahaan pertambangan mulai mengantongi izin untuk mengeksplorasi dan menambang nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Total tercatat setidaknya 16 izin usaha pertambangan (IUP) pernah diterbitkan, dengan 5 di antaranya aktif hingga awal 2025. Pemerintah pusat menyatakan bahwa langkah ini diambil dalam rangka mendukung industri kendaraan listrik dunia, yang sangat bergantung pada bahan baku nikel untuk baterainya. Sayangnya, langkah ini tidak dibarengi dengan pertimbangan ekologis dan sosial yang memadai, sehingga memicu reaksi keras dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan penggiat pariwisata.
Pada awal Juni 2025, pemerintah mengambil tindakan tegas dengan menyegel aktivitas tambang di empat perusahaan, yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Penutupan ini dilakukan setelah ditemukan berbagai pelanggaran terhadap izin lingkungan dan ketidaksesuaian dengan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL). Aktivitas tambang tersebut dilaporkan telah menyebabkan deforestasi seluas lebih dari 500 hektar hutan tropis dan mencemari perairan dengan limbah dan lumpur tambang, yang merusak terumbu karang dan mengganggu biota laut di sekitarnya.
Greenpeace Indonesia menyuarakan keprihatinannya terhadap kelanjutan aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat, termasuk pada perusahaan PT Gag Nikel yang hingga kini masih diizinkan beroperasi. Perusahaan ini memang memiliki AMDAL dan beroperasi di Pulau Gag yang secara administratif berada di luar zona geopark Raja Ampat. Namun, dampaknya tetap dirasakan oleh lingkungan sekitar. Greenpeace mendesak agar seluruh kegiatan pertambangan di Raja Ampat dihentikan secara permanen dan kawasan ini dilindungi sepenuhnya dari eksploitasi industri. Seruan "Save Raja Ampat" pun kembali menggema dalam kampanye-kampanye nasional dan internasional yang digalang oleh aktivis lingkungan.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan pengawasan ketat terhadap seluruh kegiatan pertambangan di kawasan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama KPK dan Polri juga sedang menelusuri adanya indikasi pelanggaran hukum dan tindak pidana korupsi dalam proses penerbitan izin-izin pertambangan di Raja Ampat. Pemerintah menjelaskan bahwa pencabutan izin tambang dilakukan karena banyak perusahaan tidak memenuhi syarat administratif, tidak menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), atau bahkan tidak memiliki izin AMDAL yang valid.
Selain dampak lingkungan yang masif, kegiatan tambang ini juga telah menimbulkan ketegangan sosial dengan masyarakat adat yang merasa tidak pernah diajak berdiskusi atau dimintai persetujuan (Free, Prior and Informed Consent). Banyak dari mereka yang kehilangan lahan adat, sumber air bersih, dan mata pencaharian sebagai nelayan dan pelaku wisata bahari. Dalam berbagai forum, mereka menyuarakan bahwa pertambangan bukanlah jalan yang mereka pilih untuk membangun masa depan. Mereka menginginkan model pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis pada kekayaan alam yang lestari, seperti ekowisata dan perikanan berkelanjutan.
Situasi ini menempatkan Indonesia pada dilema besar. Di satu sisi, negara ini ingin memimpin rantai pasok global untuk kendaraan listrik yang sedang naik daun. Di sisi lain, jika eksploitasi dilakukan secara ugal-ugalan, maka Indonesia justru akan menghancurkan aset ekologis dan sosial yang tak tergantikan. Kasus Raja Ampat menjadi simbol benturan antara kepentingan ekonomi global dan upaya pelestarian lingkungan lokal. Banyak pihak menilai bahwa transisi energi seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan masyarakat adat dan ekosistem yang rapuh.
Langkah tegas pemerintah untuk mencabut izin tambang di Raja Ampat memang patut diapresiasi. Namun, langkah tersebut tidak boleh berhenti hanya pada pencabutan izin. Harus ada komitmen nyata untuk melakukan pemulihan lingkungan secara menyeluruh, penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran, serta perumusan kebijakan perlindungan jangka panjang terhadap kawasan-kawasan sensitif seperti Raja Ampat. Pemerintah juga perlu membangun sistem partisipasi publik yang kuat, di mana masyarakat adat dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan atas tanah dan laut mereka.
Akhirnya, pertanyaan besar yang kini menggantung di hadapan kita adalah: apakah Indonesia mampu menjadi pemimpin dalam ekonomi hijau yang berkeadilan, atau justru terjebak dalam paradigma lama eksploitasi sumber daya? Jawabannya akan sangat bergantung pada langkah-langkah strategis yang diambil pemerintah dalam waktu dekat---apakah akan memilih melindungi warisan bumi, atau menjualnya demi investasi jangka pendek.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI