Darurat Militer dan HTN Darurat, Hal Konstitusional yang perlu Diatur
Oleh Satrio Wahono*
Beberapa waktu lalu, seiring rangkaian demonstrasi besar di berbagai penjuru Indonesia memprotes kebijakan dan tingkah laku pejabat negara yang minim empati, eskalasi aspirasi massa berujung pada korban luka maupun jiwa. Termasuk yang paling memiriskan hati adalah pelindasan driver ojek online Affan Kurniawan oleh mobil rantis oknum aparat, yang kini sedang menjalani proses peradilan pidana.
Di tengah hiruk-pikuk di atas, berseliweran isu akan adanya pengumuman darurat militer. Untungnya, hal itu tidak terjadi dan dibantah sendiri oleh sejumlah pihak, termasuk militer itu sendiri.
Kata 'darurat militer' memang menakutkan bagi prospek demokrasi. Sebab, kondisi darurat militer memungkinkan pemerintah mengambil tindakan yang menciderai hak asasi manusia (HAM) atas nama keamanan dan keutuhan negara.Â
Hanya saja, kita perlu mendudukkan 'kondisi darurat', termasuk darurat militer, secara proporsional. Pasalnya, istilah itu sah secara konstitusional, pun dalam negara demokrasi.
HTN Darurat
Istilah hukum untuk itu adalah Hukum Tata Negara (HTN) Darurat. Ini mengacu pada hukum yang digunakan suatu pemerintahan dalam mengatasi krisis.
HTN Darurat disebut juga state of emergency atau state of exception, yang merupakan kondisi ketika negara melakukan respons luar biasa ketika menghadapi ancaman atau bahaya. Pengaktifan HTN Darurat akan menangguhkan fungsi normal sebuah pemerintahan dengan mempersilakan pemerintah darurat menangguhkan kebebasan sipil dan sejumlah pemenuhan HAM.
Adapun Jimly Asshiddiqie (2007) menafsirkan HTN Darurat sebagai keadaan bahaya yang tiba-tiba mengancam ketertiban umum, yang menuntut negara untuk bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal.