Rasanya saat ini tinggal sedikit orang yang membantah bahwa pemanasan global merupakan salah satu isu serius nan mengkhawatirkan bagi dunia. Anomali iklim dan kian maraknya bencana alam seperti angin topan beserta bencana ikutannya seperti banjir dan tanah longsor adalah contohnya. Â
Pemanasan global sendiri secara umum diakibatkan oleh penumpukan emisi karbon dari bahan bakar fosil di bumi yang mengalangi panas terlepas ke angkasa, sehingga mengakibatkan suhu bumi kian panas. Penggunaan bahan bakar fosil jadinya merupakan salah satu akar pemanasan global. Maka itu, muncul inisiatif global untuk menekan emisi gas rumah kaca guna menjaga peningkatan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat Celsius. Â
Karena itu, dunia kini gandrung mengajukan solusi berupa pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), seperti energi air, geotermal (panas bumi), biomassa, dan yang sejenis. Harapannya, EBT akan lebih ramah lingkungan dalam upaya manusia terus-menerus melakukan pembangunan ekonomi. Hanya sayangnya, pemanfaatan EBT ternyata punya sisi kelamnya juga. Salah satu contohnya adalah penggunaan EBT air untuk membangkitkan tenaga listrik lewat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Kasus Mollo
Menurut Donny Yusgiantoro dalam Kebijakan Energi Lingkungan (LP3ES, 2017), pemanfaatan air untuk ketenagalistrikan bukannya tanpa masalah. Misalnya saja, penggenangan lahan dalam rangka membuat bendungan untuk PLTA akan menghilangkan flora dan fauna di wilayah tersebut.Â
Kemudian, sayatan-sayatan pisau pada turbin dapat membuat ikan serta berbagai organisme lain terluka dan
bahkan terbunuh. Lebih jauh lagi, pengoperasian fasilitas PLTA ternyata juga mengeluarkan emisi karbon dioksida yang mencemari udara dan berkontribusi pada pemanasan global.
Akan tetapi, dampak negatif penggunaan air pada PLTA tidak hanya berlaku pada flora dan fauna, melainkan juga pada masyarakat manusia. Setidaknya itulah yang bisa kita lihat dalam kasus Mollo.
Merujuk Siti Maemunah dalam Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim (Penerbit Buku Kompas, 2015), Mollo adalah satu wilayah di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki kearifan lingkungan lokal yang indah. Orang Mollo, sebagai contoh, meyakini bahwa alam itu bagaikan tubuh manusia. Batu sebagai tulang, tanah ibarat daging, hutan laksana kulit, paru-paru, dan rambut. Sementara air sendiri diserupakan dengan darah karena air itu membagikan makanan pada tubuh, pada lahan, agar tanaman bisa hidup dan tumbuh.
Wilayah Mollo sendiri merupakan hulu dari dua daerah aliran sungai terbesar di Timor Barat, yaitu Noelmina dan Noelbenanain. Noel merupakan sebutan orang Mollo bagi sungai. Air dari tiga mata air besar dan 324 mata air kecil mengalir ke empat sungai besar, yaitu Noel Besi, Noel Aplal, Noel Besasi, dan Noel Puni.
Namun perlu diingat bahwa daerah Timor memiliki iklim yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Pola iklim ditentukan oleh embusan angin yang melewati khatulistiwa dari benua Asia yang lembab dan Benua Australia yang kering. Jadinya, secara umum Timor merupakan tanah kering yang air sungainya mengandalkan debit air dari musim hujan.