Tasawuf, terutama sesudah dibangkitkan oleh Imam Ghazali yang mengecam keras sebagian pemikiran filsafat yang dianggap bertentangan dengan akidah dasar Islam, sering dituding sebagai biang keladi kemunduran dunia Islam dan negara-negara di mana umat Islam menjadi mayoritas. Ajaran atau konsep tasawuf seperti zuhud (sikap asketis menjurus anti-dunia) dianggap tidak kompatibel dengan semangat pembangunan ekonomi secara material. Belum lagi kesan menomorduakan nalar yang membuat ajaran Islam seakan tidak mendukung penuh penguasaan sains.
Namun, salah satu pemikir Islam kontemporer Hassan Hanafi memberikan tafsiran berimbang tentang tasawuf klasik warisan Imam Ghazali. Hanafi, pemikir yang akrab dengan pemikiran Karl Marx sehingga Kazuo Shimogaki sampai membuat buku berjudul Kiri Islam (LKIS, 2012) tentang pemikiran cendekiawan Mesir ini, mampu menjustifikasi bahwa Imam Ghazali adalah anak zamannya. Sehingga, Hanafi bisa memahami secara sosiologis mengapa Al-Ghazali bisa sampai kepada versi tasawufnya yang seakan anti filsafat dan anti rasionalitas.
Namun, seiring perubahan zaman, Hanafi mencoba merumuskan satu ajaran tasawuf positif berbasiskan ajaran Imam Ghazali Maksudnya, Hanafi ingin mereinterpretasikan dan mereaktualisasikan tasawuf Imam Ghazali supaya lebih mendukung upaya dunia Islam bangkit dari keterpurukan dan mulai merengkuh alam pikir dunia modern.
Proyek tasawuf positif ini lantas ia tuangkan dalam buku Agama, Ideologi, dan Pembangunan (terjemahan P3M, 1991, dengan kata pengantar dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur), khususnya di bab 3 bertajuk "Tasawuf dan Pembangunan: Dialog dengan Al-Ghazali". Di bab tersebut, Hanafi memberikan tafsir baru menyegarkan terkait 11 konsep Sufisme yang nantinya akan membentuk semacam tasawuf positif.
1. Taubat. Bagi Hanafi, taubat bukan sekadar proses seorang mukmin menyesali dosa-dosanya, melainkan juga simbol bagi hasrat dan inisiatif manusia untuk berubah, yang sangat diperlukan bagi upaya pembangunan.
2. Sabar. Kata ini jangan lagi dimaknai sebagai kesabaran pasif yang menunggu penyelesaian dari langit untuk berbagai masalah. Sebaliknya, kesabaran harus menjadi kata kerja aktif yang mengacu pada daya tahan, kehendak, dan konsistensi yang kuat.
3. Bersyukur. Bagi Hanafi, bersyukur pasif berarti kemauan menerima sedikit tanpa meminta yang banyak. Padahal, kepasifan seperti ini bisa menyebabkan stagnasi sosial dan mencegah mobilitas sosial. Sebagai gantinya, Hanafi menganjurkan bersyukur aktif di mana umat harus memperjuangkan kondisi sosial yang maksimal dan baru bersyukur setelah itu. Ini tentu menjadi bahan bakar yang bagus bagi perubahan sosial.
4. Kemiskinan (faqr). Jika tasawuf klasik ala Al-Ghazali menganjurkan kemiskinan  sebagai reaksi terhadap cinta harta dunia di zaman dulu, sekarang kemiskinan harus dimaknai sebagai kerjaan syaitan yang harus dibenci dan dienyahkan. Kemiskinan hanya boleh dirasakan dalam hubungan antara manusia dan Tuhan, bukan antara sesama manusia.
5. Asketisme (zuhud). Bagi Al-Ghazali, kemiskinan membersihkan tangan dari benda, sementara zuhud menyucikan jiwa dari nafsu. Sementara bagi Hanafi, zuhud baru bisa dipraktikkan ketika masyarakat secara umum sudah makmur dan sejahtera merata. Kalau masyarakat masih miskin, zuhud belum diperlukan.