Dasar negara selanjutnya ialah: Persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat gotong-royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan."
Ada tiga poin dalam Pancasila di atas terkait betapa revolusionernya dasar negara tersebut.
Pertama, dasar negara tegas mengatakan negara harus bersifat sosialistis tapi sosialisme yang religius, bukan komunis yang anti agama. Apalagi sudah disebutkan bahwa keadilan sosial haruslah wajar. Ini tampaknya membuka ruang bagi hak milik pribadi, sehingga sosialisme yang diinginkan adalah semacam sosialisme demokrat.
Kedua, dasar negara ini tidak hanya menyebut Islam, tapi juga Kristen, dan bahkan agama-agama lain yang ada di tanah air kita. Ini adalah kalimat yang sangat pluralis karena membuka ruang bagi hidupnya agama-agama lokal yang banyak terdapat di Nusantara.
Ketiga, kata persatuan dibundel atau direndengkan dengan kata gotong-royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan. Artinya, persatuan bukanlah persatean yang harus dicapai dengan cara koersif (kekerasan) dan sentralistik. Melainkan, persatuan yang dibina dengan dialog deliberatif demokratis (Kerakyatan) dengan semangat solidaritas persaudaraan dan otonomi (gotong-royong) maupun adab kewargaan atau Republikanisme yang tinggi (perikemanusiaan dan kebangsaan).
Bayangkan jika rumusan Pancasila di atas disahkan, dihayati, dan diterapkan. Mungkin perjalanan Indonesia akan lebih cepat mencapai kesejahteraan yang diharapkan. Hanya sayang, sejarah mengatakan lain. Dekrit 5 Juli 1959 mengabaikan rumusan Pancasila versi Majelis Konstituante sekaligus membawa bangsa ini ke trajektori lain sejarah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI