Selama ini dalam pelajaran sejarah kita sering kali hanya diberikan informasi tentang 3 versi Pancasila, yaitu versi Sukarno 1 Juni 1945, versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan versi dasar negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Kalaupun ada tambahan, itu paling Pancasila versi kembali ke UUD 1945 pasca Demokrasi Terpimpin berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959 di mana Pancasila itu "dijiwai oleh Piagam Jakarta".
Padahal, ada satu lagi versi Pancasila yang jarang disebut dalam buku sejarah. Itulah Pancasila hasil rumusan Majelis Konstituante, yang sayangnya tidak berhasil disahkan karena Bung Karno bersama militer keburu membubarkan Majelis Konstituante demi memberlakukan Demokrasi Terpimpin yang memusatkan kekuasaan di tangan Presiden Sukarno.
Latar belakang sejarah
Sebagai latar belakang singkat, sesudah masa Republik Indonesia Serikat (RIS) yang pendek (1949-1950) menyusul kesepakatan Konferensi Meja Bundar, Indonesia kembali ke Negara Kesatuan dan memberlakukan UUD Sementara (UUDS) 1950. Mengapa sementara? Karena pasal 135 UUDS 1950 mengamanatkan pembentukan Majelis Konstituante untuk menyusun UUD tetap. Terpilihlah 514 anggota majelis lewat pemilu plus 29 anggota yang diangkat untuk mewakili golongan minoritas. Total ada 543 anggota Majelis Konstituante yang dilantik Presiden tanggal 10 November 1950 di Bandung.
Majelis ini mudah sepakat tentang batang tubuh UUD, tapi tidak dengan dasar negara sehingga muncullah usulan tiga dasar negara. Pertama, Pancasila hasil usulan PNI, PKI Parkindo, partai Katolik, IPKI dan PSI yang meraih 273 suara. Kedua, Islam yang diusung Masyumi, NU, Perti, PSII dan empat partai kecil lain dengan meraih 230 suara. Ketiga, Sosial Ekonomi yang diusung Partai Murba dan Partai Buruh tapi hanya meraih 9 suara sehingga mereka bergabung dengan Pancasila.
Total komposisi suara jadinya adalah 282 memilih Pancasila sebagai dasar negara dan 230 suara memilih Islam. Artinya, tidak ada yang mencapai kuorum 2/3 suara sebagaimana disyaratkan untuk menerapkan UUD yang tetap.
Namun, itu bukan berarti jalan buntu. Upaya kompromi terus dilakukan sehingga Majelis Konstituante membentuk Panitia Perumus Dasar Negara yang terdiri dari 18 orang . Pada 6 Desember 1957, panitia ini berhasil merumuskan dasar negara hasil kompromi itu, yang ternyata sangat revolusioner.
Pancasila yang revolusioner
Bunyi Pancasila hasil rumusan Majelis Konstituante itu adalah (dalam Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani, 1996).
"Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa, dengan pengertian bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.