Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitos Pemilih Rasional Dalam Politik Kita

16 Juli 2025   08:32 Diperbarui: 16 Juli 2025   08:32 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai produk politik dunia modern yang mengutamakan rasio, pemilihan umum adalah proses elektoral berkala untuk melakukan sirkulasi kepemimpinan secara rasional. Artinya, pemilih (voter) sebagai manusia modern diharapkan memaksimalkan rasionalitasnya dengan mencermati berbagai program partai maupun kandidat elit pemimpin (baik legislatif maupun eksekutif di tingkat nasional dan daerah) guna melahirkan kepemimpinan berkualitas yang mampu menciptakan kesejahteraan publik.

Sayangnya, hal itu masih menjadi mitos di Indonesia. Sebab, pemilih kita kebanyakan masih memiliki preferensi politik yang didasarkan pada sentimen emosional. Singkat kata, pemilih rasional masih menjadi mitos.

Tipologi politik emosi

Secara garis besar, preferensi politik berbasis emosi suatu masyarakat bisa dipetakan menjadi dua tipologi. Pertama, politik aliran. Sebagaimana diungkapkan Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1976), inilah politik emosi yang membagi segmen preferensi politik masyarakat menjadi tiga: santri, priyayi, dan abangan. Sederhananya, penganut politik santri adalah orang-orang yang memiliki preferensi politik terhadap tokoh atau partai yang mengusung nilai-nilai agama sebagai jualannya. Di sisi lain, penganut politik priyayi dan abangan adalah mereka yang lebih mengutamakan promosi nilai-nilai sekular dan humanis seperti nasionalisme, sosialisme, dan lain sebagainya. 

Mari kita mundur agak jauh ke belakang untuk mengambil studi kasus pemilukada Jakarta 2007 . Saat itu, hampir 20 tahun lalu, masyarakat DKI Jakarta masih terperangkap dalam politik aliran ini. Yaitu, ketika Adang Daradjatun --- Dani Anwar didukung oleh partai agama yang dipersepsikan "puritan", Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sementara Fauzi Bowo --- Prijanto didukung oleh partai-partai keroyokan yang mayoritas bertipologi priyayi dan abangan.

 Hasilnya, terjadi polarisasi tegas di antara ketiga kotak politik aliran. PKS mampu merapatkan barisan suara dan merangkul segmen-segmen lain sehingga hanya kalah tipis sekitar 2 persen suara dari pasangan Fauzi --- Prijanto.

Nostalgia politik aliran inilah yang mungkin masih dirasakan PKS sehingga berani menggolkan kader sendiri Hidayat Nurwahid sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Sayangnya, kali ini PKS harus menelan pil pahit karena alih-alih merangkul suara segmen pemilih lain, suara PKS sendiri gembos sebesar kira-kira 7 persen. Sebab, PKS yang menguasai 18 persen kursi di DPRD hanya mengais 11 persen suara bagi Hidayat Nurwahid.

 Tim sukses Fauzi pun terlena dengan politik aliran ini ketika sejumlah media menengarai tim sukses tersebut menghembuskan sentimen-sentimen berbau SARA terkait Ahok yang beretnis Tionghoa dan beragama non-Muslim. Juga, sentimen kedaerahan terkait Jokowi yang dianggap orang asing dari Jawa.  Namun kembali, tim sukses Fauzi pun kecele karena ternyata politik aliran pada 2004 telah bergeser menjadi politik nonrasional berbalut emosi tipe kedua.

Apa tipologi yang kedua itu? Itulah politik messianisme atau "Ratu Adil" di mana publik memiliki preferensi politik terhadap sosok yang mereka anggap mampu membawa perubahan di tengah kepengapan nasib mereka di bawah rezim terkini yang sedang berkuasa. Ibarat kata, politik "Ratu Adil" membuahkan sindrom "ABP (Asal Bukan Petahana)" bagi publik pemilih. Dalam konteks DKI, sindrom itu mewujud menjadi "ABF (Asal Bukan Foke)". 

 Keampuhan politik messianisme ini terbukti bahkan dalam skala nasional. Yakni, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mampu memenangi pemilihan presiden melawan Megawati. Kala itu, rakyat yang merasakan sedikit perubahan di bawah rezim Megawati merasa frustrasi dan mendapati sosok SBY sebagai calon yang dipersepsikan sebagai "Ratu Adil." Ditambah dengan citra SBY sebagai jenderal yang santun, rapi, tegap, cerdas, dan berwibawa, lengkaplah masyarakat menumpukan harapan pada SBY, sebuah harapan yang dalam kenyataan masih jauh panggang dari api. 

Hal sama terjadi pada kemenangan Presiden Prabowo Subianto pada pilpres 2024. Sebagian masyarakat yang memilih Prabowo sering mencitrakan beliau sebagai sosok "Satria Piningit" yang gagah, berkarakter dan tegas sehingga akan mampu membawa negeri ini ke arah kemakmuran, sesuatu yang sebenarnya masih harus ia buktikan dalam memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun