Selama ini, kita selalu mengaitkan tokoh pendidikan dengan nama Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pergerakan yang juga edukator ulung. Padahal, ada tokoh penerus Ki Hajar Dewantara dari Taman Siswa yang pemikirannya seputar pendidikan tak kalah brilian  dibandingkan Ki Hajar Dewantara. Dialah Ki Sarino Mangunpranoto (1910-1983), pendiri Taman Madya (setingkat SMU) dan Taman Dewasa di bawah payung Taman Siswa pada 1949. Beliau juga pernah menjadi Menteri Pendidikan (1956-1957) dan anggota DPR pada masa Orde Lama serta sebentar menjadi Menteri Pendidikan lagi pada masa Orde Baru.
Pemikiran Ki Sarino yang sebenarnya masih sangat relevan untuk konteks masa kini adalah "Pendidikan Kedesaan", sering dikacaukan dengan konsep pendidikan farming atau pertanian (Abdurrahman Surjomihardjo, Prisma Maret 1984). Dalam konsepnya ini, yang terbetik saat Ki Sarino mengadakan studi banding ke Inggris, Mesir, India, Selandia Baru dan Australia (dia juga pernah menjabat Duta Besar Indonesia untuk Hungaria), Ki Sarino menyadari bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang tinggal di pedesaan dengan sumber daya pertanian begitu berlimpah.Â
Maka itu, Ki Sarino menginginkan masyarakat pedesaan mampu mengolah sumber daya berlimpah itu demi mencapai suatu taraf hidup berkecukupan yang dilengkapi dengan mental dan pemikiran yang lebih modern dan maju.Â
Jadi, modernisasi dalam pertanian bukan bersibuk melulu pada kecanggihan teknologi, melainkan lebih memusatkan perhatian pada alam pikiran dan mentalitas yang maju. Ringkasnya, pendidikan kedesaan dari perspektif Ki Sarino mengutamakan pendadaran akal dan mental dari masyarakat banyak untuk mencapai keterampilan hidup (life skills) atau sarana penghidupan ekonomi.
Dengan begini, sekolah diharapkan terintegrasi dengan masyarakat secara serasi karena dapat bersama-sama mengangkat taraf pemikiran (alam pikiran dan mental) sekaligus taraf penghidupan (ekonomis). Tercipta pula pribadi yang seimbang. Sebab, selain anak didik akan memiliki pikiran cerdas nan terbuka yang selalu dapat beradaptasi dengan perubahan, mereka juga memiliki bekal keterampilan praktis untuk mencari penghidupan dengan tangan sendiri.Â
Dengan kata lain, pendidikan kedesaan ingin menggugah anak didik supaya menjadi pribadi yang cerdas, maju, mandiri karena mampu mencari nafkah sendiri, dan juga bahkan berguna bagi masyarakat sebab mampu menggunakan keterampilannya tersebut untuk berwirausaha dan membuka lapangan kerja. Inti pendidikan bagi Ki Sarino adalah menyiapkan anak didik menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri dan juga bagi lingkungannya.
Hal di atas kian tegas tercermin apabila kita menyimak bagaimana Sarino "meringkaskan" fasafah pendidikannya ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Ampera (1966-1967) di bawah Ketua Presidium Letjen Soeharto. Yaitu, "usaha pendidikan ialah memelihara hidup tiap individu dijadikan suatu pribadi yang tahu akan hak asasinya dengan hidup berdiri mandiri, memunyai hak mengatur diri sendiri dengan penuh tanggung jawab. Mendidik adalah mengembangkan akal-rasa (kelengkapan batiniah) dan membuahkannya dalam bentuk daya dan gaya (kelengkapan jasmaniah)".
Relevansi Ajaran
"Ringkasan" falsafah Pendidikan Kedesaan dari Ki Sarino di atas begitu relevan sekarang ini. Sebab, pendidikan di negeri kita ini masih banyak yang berorientasikan pada aspek kognitif anak didik demi mencapai sasaran-sasaran kuantitatif (nilai ujian, penguasaan bahasa asing, koleksi juara, dan lain sebagainya), sementara aspek praksis anak didik dikompromikan. Padahal, ini berpotensi mencetak generasi masa depan yang tidak seimbang karena hanya cerdas akalnya tapi kurang berakhlak, tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk bertahan hidup dan hidup mandiri, apalagi untuk memberikan manfaat bagi orang lain.Â