Sekarang ini, perkembangan Akal Imitasi (AI) sudah menjadi fakta yang tak bisa ditampik, lengkap dengan segala konsekuensinya. Di bidang jurnalisme, misalnya, AI sudah menjadi hal yang lumrah digunakan untuk menulis reportase sederhana dan bahkan sebagai mitra untuk menuliskan liputan. Dampak negatifnya adalah pekerja jurnalis mulai terancam, sehingga memunculkan ancaman PHK. Baru di tahap awal saja, AI sudah cukup canggih menulis berita, bagaimana dengan katakanlah lima tahun ke depan?
Namun, potensi dominasi AI dunia maupun industri jurnalistik sebenarnya bisa diseimbangkan. Salah satunya, kaum jurnalis atau pewarta mesti kian giat mengembangkan jurnalisme empati, yang justifikasi filosofisnya bisa digali dari fenomenologi Merleau-Ponty.
Menurut Thomas Hidya Tjaya dalam buku pengantarnya tentang pemikiran Merleau-Ponty, Merleau-Ponty dan Kebertubuhan Manusia (KPG, 2020), filsafat fenomenologi Merleau-Ponty merupakan fenomenologi tubuh yang ingin mengkritik konsep kesadaran atau makhluk berpikir (res cogitans) dari Rene Descartes.Â
Dalam pemikiran Descartes, yang terkenal dengan slogan cogito ergo sum (aku berpikir, karena itu aku ada), dunia dikenal dan eksis berdasarkan kesangsian metodis yang dipulangkan pada aku yang berpikir alias res cogitans. Dengan adanya res cogitans, dunia pun jadi bisa dikenal. Dengan kata lain, dunia menjadi perpanjangan (res extensa) dari res cogitans. Akibatnya, kesadaran seakan bisa lepas dari tubuh.
Tidak demikian menurut Merleau-Ponty. Bagi Ponty, gagasan Descartes itu bersifat reduktif dan tidak sesuai dengan pengalaman kita sehari-hari. Padahal, tubuh manusia memiliki keterkaitan intrinsik dengan dunia.Â
Keterkaitan ini sering tidak kita sadari karena kita menggunakan tubuh begitu saja sesuai kehendak kita tanpa merefleksikannya. Ketika organ tubuh kita mengalami kerusakan, barulah kita menyadari betapa penting peranan tubuh dalam menghubungkan kota dengan dunia. Artinya, tubuh memiliki peranan fundamental dalam membentuk berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk pengetahuan yang diperolehnya.
Gagasan bahwa pengetahuan hanya bisa didapatkan oleh kesadaran yang bertubuh itulah yang bisa menjadi justifikasi filosofis bagi konsep "Jurnalisme empati".Â
Sebagaimana dikisahkan Maria Hartiningsih dalam kesannya tentang begawan jurnalistik Ashadi Siregar (Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru, KPG, 2010), jurnalisme empati diperkenalkan oleh Ashadi untuk meliput isu-isu terkait HIV/AIDS. Konsep itu dilontarkan  ketika penyebaran HIV/AIDS semakin serius pada 1990-an. Sampai kurun waktu itu, orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Indonesia dipandang sebagai pendosa dan tak bermoral.