Tidak sampai satu bulan lagi, timnas sepak bola Indonesia akan menjalani dua laga menentukan untuk menjaga asa ke Piala Dunia 2026, yaitu melawan China (5 Juni) dan Jepang (10 Juni). Tentu kita berharap bisa memenangi kedua laga tersebut untuk minimal bisa melanjutkan ke babak play-off, sukur-sukur langsung lolos.
Harus diakui, prestasi timnas Garuda saat ini cukup baik. Selain buah dari penataan berangsur organisasi dan racikan strategi pelatih, ada satu hal yang ikut membantu: sudah mulai maraknya produk budaya kita yang mengangkat tema sepak bola.
Pasalnya, sosiolog sekaligus analis politik Salim Said pernah berteori (Prisma Nomor 1, 1990, edisi Budaya Pop Budaya Massa) bahwa produk seni dan budaya---termasuk novel dan film---memainkan kesalingterpengaruhan dalam mencerminkan realitas masyarakatnya.Â
Tesis ini relevan jika dikaitkan dengan prestasi dunia sepakbola kita. Lihat saja, di tengah terpuruknya prestasi dunia sepakbola kita beberapa dasawarsa ke belakang, langka pula produk novel dan film sepakbola kita.
Maka itu, salah satu variabel solusi untuk mendongkrak prestasi sepakbola kita adalah memperbanyak film dan novel sepakbola. Utamanya, film dan novel yang mampu mengobarkan semangat (feel-good novel and movies) serta menceritakan kesuksesan satu tim dan pemain dari bukan apa-apa menjadi luar biasa (from zero to hero, from nothing to something).Â
Keterhubungan
Teori di atas jauh dari kesan mengada-ada. Sebagai contoh, Belanda yang terkenal sebagai tim tangguh dan langganan finalis Piala Dunia punya tokoh komik Real Djikstra sebagai ikonnya. Bahkan, tokoh ini sempat ikut menjadi idola remaja Indonesia kala dimuat secara bersambung di majalah remaja, Hai.Â
Menengok ke benua Asia, kita bisa melihat China, yang tim nasionalnya berhasil untuk kali pertama masuk ke ajang Piala Dunia 2002. Setahun sebelum kesuksesan ini, China terlebih dulu mendapati film Shaolin Soccer besutan komedian Stephen Chow sebagai pendorong semangat luar biasa. Menuai sukses di daratan China dan Hong kong, film ini bahkan dibeli hak edar dan sulih suaranya oleh distributor film tersohor Hollywood, Miramax, untuk diputar di Amerika Serikat.Â
Terakhir, kita tentu tak bisa melupakan tim Samurai Biru, Jepang. Terkait produk budayanya terkait sepakbola, siapa yang tak kenal serial komik Captain Tsubasa. Padahal, komik ini terbit pada 1981, zaman tatkala boleh dibilang tidak ada penggemar sepakbola di matahari terbit itu, apalagi liga sepakbola profesional. Â Lebih parah lagi, bahkan mayoritas masyarakat Jepang kala itu tidak tahu apa itu Piala Dunia!Â
Untungnya, kemunculan komik bersambung Captain Tsubasa mengubah itu semua. Pasalnya, komik Tsubasa dimuat di majalah bertiras tinggi Weekly Shonen Jump. Alhasil, virus sepakbola pun lambat laun menjalar ke Jepang hingga Jepang kini memiliki salah satu liga profesional sekaligus kesebelasan nasional paling tangguh di Asia.Â